SEKALIPUN KELAPARAN, JANGAN JUAL AGAMA

Oleh KH. Luthfi Bashori

Bacaan Lainnya


Kelaparan yang dimaksud dalam kasus berikut, adalah suatu kondisi yang identik dengan potret sebuah kehidupan di bawah garis kemiskinan duniawi, bukan miskin aqidah atau keyakinan agama.

Karena yang merasa kelaparan dalam kasus ini, adalah orang-orang yang tidak diragukan lagi standar keimanannya. Hingga tidak terbersit sedikit pun yang namanya menjual keyakinan agamanya demi memenuhi kebutuhan perutnya. Bagaimana tidak, karena yang mengalami kelaparan itu adalah Rasululah SAW sendiri dan para shahabatnya.

Sy. Abu Thalhah RA mengungkapkan, “Suatu saat, kami (para shahabat) mengadu kepada Rasulullah SAW karena lapar.  Kami mengganjal perut kami masing-masing dengan sebuah batu. Akan tetapi, ternyata Rasulullah SAW mengganjal perutnya dengan dua buah batu.” (HR. At-Tirmidzi).

Mengganjal perut dengan lempengan batu demi menahan lapar, tentu sulit dibayangkan kecuali jika terjadi pada kondisi masyarakat yang benar-benar berada di bawah garis kemiskinan. Ternyata seperti itu pilihan hidup Rasululah SAW dalam menjalani hari-harinya.

Dikatakan pilihan hidup Rasulullah SAW menjadi miskin, karena di masa muda beliau SAW sangat terkenal sebagai figur yang ahli dalam berniaga, bahkan dalam menepapkan managemen perniagaan beliau SAW ternyata sangat jitu dan berhasil dengan gemilang.

Hingga Siti Khadijah sang pemilik modal pun sangat kagum dan terheran-heran dengan keberhasilan metode dagang yang diterapkan oleh Rasulullah SAW, bahkan Siti Khadijah pada akhirnya tertarik untuk menjadi istri dari sang manager handal, Rasulullah SAW di saat usia mudanya.

Sy. Abu Hurairah RA menceritakan, suatu saat Nabi Muhammad SAW keluar rumah pada waktu yang tidak biasa. Tidak seorang pun yang datang bertemu beliau SAW kecuali shahabat Abu Bakar.

“Wahai Abu Bakar, apa yang mendorongmu datang kemari ?” tanya Nabi SAW.

“Aku sengaja menemui Rasulullah SAW untuk memandang wajahnya.”

Setelah itu saat selisih beberapa waktu kemudian, barulah datang shahabat Umar dan Nabi SAW pun mengajukan pertanyaan serupa, “Apa yang mendoronmu datang kemari, wahai Umar ?”

“Lapar, wahai Rasulullah.”

“Aku pun merasakannya,” sabda Nabi SAW. “Berangkatlah kalian sekarang ke rumah Abul Haitsam ibnu Tayyihan Al-Anshari.”

Sy. Abul Haitsam adalah seorang shahabat yang banyak mempunyai pohon kurma dan ternak kambing, tetapi tidak mempunyai pelayan. Sewaktu para shahabat sampai di sana, ia tidak ada di rumah. Istrinya mengatakan, “ Ia sedang pergi mencari air tawar buat kami.”

Tidak lama kemudian datanglah Abul Haitsam dengan memikul qirbah (wadah air). Usai meletakkan qirbah, ia memeluk Nabi Muhammad SAW dan mengucapkan kalimat setia kepadanya, “Ayah dan ibuku kujadikan tebusanmu.”

Lalu ia membawa Nabi Muhammad SAW dan para shahabat ke kebun kurma dan menggelar permadani untuk mereka. Setelah itu, ia pergi sebentar dan kembali dengan tangkai kurma yang penuh, dan menyuguhkannya di hadapan para shahabat.

“Mengapa tidak engkau pilihkan kurma telah masak saja buat kami ?” komentar Rasulullah SAW.

“Wahai Rasulullah, sungguh aku bermaksud agar engkau sendirilah yang memilih kurma masak atau kurma yang setengah masak,” kilah Abul Haitsam.

Nabi Muhammad SAW dan para shahabat memakannya dan minum dari air yang telah disediakan. Lalu beliau SAW bersabda, “Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, naungan yang sejuk, makanan yag baik, dan air yang dingin ini kelak di hari kiamat termasuk nikmat yang akan di pertanyakan.”

Lalu Sy. Abul Haitsam beranjak pergi untuk menyiapkan makan buat mereka semua. Nabi Muhammad SAW berpesan, “Janganlah engkau menyembelih ternak yang sedang menyusui.”

Maka Abul Haitsam menyembelih seekor kambing muda. Setelah memasaknya, ia menghidangkannya. Mereka pun bersantap bersama.

“Apakah engkau mempunyai seorang pelayan ?” tanya Nabi Muhammad SAW.
“Tidak.”

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jika kami mendapat tawanan, datanglah engkau kepada kami.”

Ketika Nabi Muhammad SAW memperoleh tawanan dua orang, datanglah Abul Haitsam mengahadap. Beliau SAW lalu berkata, “Pilihlah salah satu di antara keduannya.”
“Wahai Nabi Allah, pilihkanlah untukku,” pinta Abul Haitsam.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesunguhnya orang yang dimintai saran adalah orang yang dipercaya. Ambillah orang ini karena aku telah melihatnya shalat, dan sampaikan kepada istrimu agar memperlakukannya dengan baik.”

Sy. Abul Haitsam menemui istrinya dan menyampaikan pertemuannya dengan Nabi Muhammad SAW. Maka ia berkata, “Engkau belum sampai pada tingkatan seperti yang dipesankan oleh Nabi SAW sebelum engkau memerdekakannya.”

Seketika Sy. Abul Haitsam berkata, “Dia kumerdekakan sekarang.”

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sungguh, Allah tidak pernah mengutus seorang nabi dan tidak juga seorang penguasa, kecuali menemaninya dengan dua orang pembantu. Seorang pembantunya menganjurkannya untuk berbuat makruf dan mencegahnya berbuat mungkar. Pembantu lainnya ialah orang yang tidak memedulikannya sama sekali dalam kejahatan. Barang siapa yang memelihara dirinya dari pembantu yang jahat, berarti dirinya telah dipelihara.” (HR. At-Tirmidzi).

Sumber : pejuangislam

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *