Oleh KH. Luthfi Bashori
PENCERAMAH BELUM TENTU ULAMA
إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Fathir, 28).
Syeikh Ibnu ‘Asyur dalam kitab At-Tahrir wa’t-tanwir menjelaskan bahwa istilah ulama merujuk pada mereka yang mengetahui tentang Allah dan syariat-Nya.
Menurutnya, pengetahuan yang tidak berkaitan dengan Allah dan syariat-Nya, tidak akan membawa seseorang pada rasa takut dan kekaguman kepada Allah, sehingga mereka tidak dapat disebut sebagai ulama.
Pandangan ini menunjukkan bahwa gelar ulama tidak hanya terkait dengan tingkat pengetahuan, tetapi juga dengan dampak dari pengetahuan tersebut dalam menumbuhkan ketaatan kepada Allah. (Tafsir At-Tahrir wa’t-tanwir, Juz 28, hal. 304).
Di Indonesia, jika disebutkan suatu definisi pada golongan tertentu, seringkali orang bertanya secara praktis, bagaimana ciri-ciri khusus/penampilannya ?
Secara umum, ciri khas ulama adalah orang yang mendalami ilmu syariat Islam dari berbagai fan (fak), ciri-ciri dhahir adalah orang yang mampu untuk membaca kitab gundul (kitab berbahasa Arab tanpa harakat), mampu menerangkan kepada umat dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat mendalami ajaran ilmu syariat, baik secara berjamaah (diskusi dengan sesama ulama) atau sendirian dengan bermuthala’ah membaca kitab-kitab para ulama Salaf yang menjadi pedoman syariat dari masa ke masa.
Secara bathin, orang yg segala gerak-geriknya diselaraskan dengan aturan syariat, mulai dari cara memilih pakaian, cara bermasyarakat, tata cara beribadah, dan tata cara menyampaikan ilmu syariat, sehingga melekat pada dirinya rasa takut kepada Allah, terutama bila sampai melanggat aturan Allah & Rasul-Nya.
Termasuk ciri-cirinya Ulama panutan adalah mampu mengelola pesantren, atau majelis ta’lim, atau pendidikan islam lainnya, dengan mengajarkan ilmu agama yang dikuasanya merujuk kepada kita-kitab Arab gundul yang telah dipelajarinya, baik diajarkan secara tekstual atau secara kontekstual kepada murid-muridnya.
Seorang penceramah, belum tentu disebut ulama, karena ada orang-orang tertentu yang ahli beretorika dalam berceramah, hanya karena seringnya ia menirukan keterangan para ulama yang berdakwah di tengan masyarakat, namun dirinya tidak mampu membaca kitab Arab gundul, hingga tidak bisa memahami dan mendalami kitab-kitab rujukan yang ditulis oleh para ulama Salaf secara mandiri.
Seorang ahli pembaca kitab Arab gundul, belum tentu juga disebut ulama, karena ketidakmampuan untuk meredam hawa nafsu jahatnya, hingga dirinya tidak takut melanggar hukum Allah.
وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
Pelanggaran terhadap hukum Allah itu adakalanya berupa maksiat dhahir, seperti mengambil sesuatu yang bukan haknya, tidak menjalankan ibadah shalat, zakat dan puasa atau yang semisalnya.
Sedangkan pelanggaran terhadap hukum Allah secara bathin itu, seperti mengikuti aliran atau pemikiran sesat, tidak yakin atau tidak rela atas takdir Allah, memiliki sifat iri, dengki, hasud terhadap pihak lain yang diberi kemuliaan oleh Allah, dan sebagainya.
Hanya para ulama yang selalu taat, baik secara dhahir maupun bathinlah yang seharusnya dijadikan panutan oleh umat Islam.