Pencoretan Tujuh Kata Piagam Jakarta

Penipuan Terbesar dalam Sejarah: Kebohongan Hatta dan Pencoretan Tujuh Kata Piagam Jakarta

17 Agustus 1945 seharusnya menjadi hari kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Proklamasi kemerdekaan menandai lahirnya bangsa baru, penuh harapan dan janji keadilan. Namun, di balik euforia itu, tersimpan sebuah kebohongan besar yang hingga kini mengguncang sejarah: penghapusan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, yang menegaskan kewajiban syariat Islam bagi pemeluknya.

Menurut Prof. Dr. Mahfud M.D., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, dalam seminar Politik Hukum Islam di Indonesia (UIN Sunan Kalijaga, 25 November 2006):

“Pada sore hari Proklamasi, seorang tamu yang mengaku mewakili masyarakat Indonesia Timur mendatangi Hatta. Dia berkata: ‘Pak Hatta, apabila tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu ditetapkan, kami masyarakat Indonesia Timur tidak akan ikut Indonesia, lebih baik kami dijajah kembali.’ Orang ini diantar oleh Maeda, pemimpin militer Jepang.”

Dengan narasi itu, Hatta mencoba meyakinkan publik bahwa penghapusan tujuh kata dilakukan karena tekanan eksternal, seolah demi menjaga persatuan bangsa. Berdasarkan klaim Hatta, kelompok Kristen dari Timur mengancam tidak akan bergabung dengan Indonesia jika Piagam Jakarta dipakai. Akhirnya, kelompok Islam pun dianggap “terpaksa” menerima penghapusan tujuh kata demi persatuan.

Tapi, benarkah cerita Hatta ini? Logika sejarah dan bukti-bukti justru membongkarnya:

1. Geografi dan transportasi
Indonesia Timur Maluku, Papua, Sulawesi berjarak ribuan kilometer dari Jakarta. Transportasi 1945 sangat terbatas; perjalanan bisa memakan waktu beberapa hari. Mustahil seorang wakil rakyat dari sana tiba hanya dalam satu hari, apalagi langsung menyampaikan ancaman. Sejarah juga mencatat, kabar kemerdekaan saja baru sampai lambat ke wilayah-wilayah jauh.

2. Kesaksian Maeda
Dalam wawancara dengan Tempo (Agustus 1985), Maeda, pemimpin militer Jepang yang disebut Hatta, menemani sang Opsir Jepang itu justru menegaskan:

“Hatta adalah kawan saya, tetapi saya tidak pernah mengantar orang untuk mencoret tujuh kata Piagam Jakarta kepadanya.”

Ini jelas membantah narasi Hatta. Jika Hatta menyebut Maeda sebagai pengantar opsir Jepang misterius, tapi Maeda sendiri menolak klaim itu, maka logika klaim Hatta sudah runtuh.

3. Penelitian akademik Bolland (1971)
Bolland menulis, pencoretan tujuh kata adalah hasil keputusan internal Soekarno-Hatta sendiri, dan orang Timur yang dimaksud tidak pernah ada.

Pendapat ahli lain
A.B. Kusuma (Universitas Indonesia) menegaskan, penghapusan dilakukan sebagai strategi politik internal untuk menenangkan pihak tertentu, tanpa adanya tekanan nyata dari luar.

4. Misteri opsir Jepang

Hatta sendiri tidak bisa menyebut nama opsir Jepang yang dimaksud dengan alasan lupa. Sampai hari ini, sosok itu tetap misterius, yang semakin menambah keraguan Para sejarawan terhadap klaimnya itu.

Dampak Kebohongan Hatta

Kebohongan ini bukan sekadar masalah sejarah; ia menyakiti jutaan umat Islam. Kelompok Islam dipaksa menerima penghapusan prinsip penting dalam konstitusi demi menjaga citra persatuan, sementara Hatta menyajikan narasi palsu seolah ada tekanan sah. Prinsip syariat Islam yang seharusnya menjadi pijakan negara terhapus karena manipulasi politik segelintir tokoh.

Ridwan Saidi menegaskan:

“Dengan segala hormat pada Bung Hatta, dia seorang yang bersahaja, tapi dalam kasus Piagam Jakarta saya harus mengatakan bahwa ia berdusta.”

Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangunsasmito, juga menambahkan:

“Ada lobi-lobi apa di belakang hingga Piagam Jakarta bisa dihapus dalam beberapa menit?”

Sedang M. Natsir menulis:

“Tanggal 17 Agustus 1945 kita mengucapkan hamdalah; alhamdulillah menyambut lahirnya Republik sebagai anugerah Allah! Tanggal 18 Agustus kita istighfar mengucapkan astaghfirullah karena hilangnya tujuh kata!”

Kesimpulan Logis

Dari semua bukti ini, jelas:

Klaim Hatta tentang wakil Timur yang menekan adalah tidak benar.

Fakta geografis dan transportasi membantah klaim itu.

Maeda menegaskan tidak ada perantaraan.

Penelitian Bolland dan ahli lain menegaskan orang Timur itu tidak ada.

Prof. Mahfud M.D. menilai narasi Hatta adalah alasan palsu untuk menutupi keputusan kontroversial politiknya.

Kekalahan kalangan sekuler dalam sidang BPUPKI dan Panitia Sembilan memaksa mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politiknya. Dampaknya, umat Islam harus merelakan prinsip syariat dalam konstitusi demi persatuan yang dibangun di atas kebohongan.

Karena itu, pemerintah sebaiknya mengembalikan apa yang sudah disepakati para founding fathers. Prinsip syariat yang dicoret bukan kehendak mereka, dan menurut Deliar Noor, para tokoh asli masih marah saat mengingat peristiwa itu. Mengembalikannya berarti menegakkan keadilan sejarah sekaligus menghormati janji para pendiri bangsa terhadap rakyat, khususnya umat Islam.

Perjuangan BPUPKI dan Panitia Sembilan belum selesai. Sejarah, kebenaran, dan prinsip yang diperjuangkan dengan darah dan keringat mereka harus kita lanjutkan.

Referensi:

Prof. Dr. Mahfud M.D., Politik Hukum Islam di Indonesia, UIN Sunan Kalijaga, 2006.

Tempo, wawancara dengan Maeda, Agustus 1985.

Bolland, J.A., Dissertation on Indonesia, 1971.

Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia.

A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945.

Deliar Noer, Partai-Partai Islam Nasional.

Ngopidiyyah

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *