Ulama Wanita Liberal Bolehkan Aborsi Dan Larang Sunat Wanita

Akhir-akhir ini publik kembali dihebohkan oleh keputusan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II, organisasi ini didukung ke NU Online, dalam kesempatan di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 24-26 Nopember 2022 yang menyatakan bahwa khitan perempuan hukumnya haram bila tanpa alasan medis. Keputusan ini sontak menuai pro-kontra, sebab bertentangan dengan pandangan para ulama klasik dan juga fatwa resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI).

KUPI II berargumen bahwa khitan perempuan atau yang dikenal dalam dunia medis sebagai Female Genital Mutilation (FGM) atau Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP), telah terbukti secara ilmiah menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan. Misalnya, rasa sakit, pendarahan, infeksi, hingga gangguan buang air kecil. Berdasarkan riset WHO, praktik P2GP tipe satu yakni pemotongan sebagian atau seluruh klitoris memang umum ditemukan di sejumlah negara, Afrika, Timur Tengah termasuk Indonesia. Karena itu, menurut KUPI II, khitan perempuan mesti dihentikan.

Sekilas, argumen ini tampak ilmiah. Namun jika ditelusuri lebih dalam, ada satu hal mendasar yang perlu diluruskan: apa yang disebut “khitan perempuan” dalam medis, bukanlah “khitan perempuan” yang dimaksud dalam Islam.

Bantahan dari Batsul Masail NU Ploso Kediri.
Sejawa-Madura, 21-22 Januari 2023

Beda antara Khitan Islam dan Mutilasi Genital

Dalam terminologi medis, FGM terdiri dari empat tipe:
1. Tipe 1 (Klitoridektomi): mengangkat sebagian atau seluruh klitoris.
2. Tipe 2: mengangkat klitoris dan sebagian labia.
3. Tipe 3 (Infibulasi): menjahit labia hingga menyisakan lubang kecil untuk buang air.
4. Tipe 4: semua tindakan yang melukai alat kelamin perempuan tanpa alasan medis, termasuk menggores, menusuk, membakar, dan sebagainya.

Sekitar 90% kasus khitan perempuan termasuk dalam tipe 1, 2, atau 4. Sementara sisanya, yaitu sekitar 10% atau lebih, merupakan khitan perempuan tipe 3.

Istilah khitan perempuan dengan segala type di atas sebenarnya tidak tepat. Istilah yang lebih tepat untuk prosedur ini adalah mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation). Pasalnya, bukan hanya kulup atau lipatan kulit yang mengelilingi klitoris yang diangkat dalam prosedur ini, tetapi juga klitoris itu sendiri.

Sedangkan khitan perempuan dalam Islam sama sekali tidak seperti itu.
Dalam kitab Fatḥ al-Mu‘īn disebutkan:

وَوَجَبَ خِتَانٌ لِلْمَرْأَةِ وَالرَّجُلِ حَيْثُ لَمْ يُولَدَا مَخْتُونَيْنِ
“Wajib berkhitan bagi laki-laki dan perempuan apabila keduanya tidak terlahir dalam keadaan sudah terkhitan.”

Yang dimaksud dalam fiqih bukanlah pemotongan klitoris, melainkan menghilangkan kulit tipis (jaldah) yang menutupi bagian depan klitoris (preputium klitoris). Fungsinya adalah menjaga kebersihan, bukan mengurangi kenikmatan atau melukai organ.

Jadi, khitan Islam ≠ mutilasi genital.
Sayangnya, inilah yang sering kabur dalam diskursus publik. Ketika WHO meneliti praktik “FGM”, yang dikaji bukan praktik “khitan Islam”, melainkan praktik budaya ekstrem di Afrika Timur dan sebagian Timur Tengah yang memang sadis dan tidak berdasar syariat.

Regulasi di Indonesia: Sudah Ada Standarnya

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah menyadari kekeliruan ini. Karena itu, Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menkes No. 1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang Sunat Perempuan, yang menjelaskan bahwa:

Khitan perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris itu sendiri.

Artinya, jika prosedur dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional dan tanpa melukai klitoris, maka khitan tidak berbahaya. Jika pun muncul kasus komplikasi, hal itu bukan karena ajaran Islamnya, tapi karena malpraktik dalam pelaksanaannya.

Kita perlu hati-hati agar jangan sampai kesalahan istilah menjadi kesalahan hukum. Ketika KUPI II mengharamkan “khitan perempuan”, yang mereka maksud adalah mutilasi genital dan itu memang haram. Tapi jika yang dimaksud adalah khitan ringan sesuai syariat, maka itu justru makrumah (kemuliaan), sebagaimana fatwa MUI No. 9A Tahun 2008.

Dengan demikian, pelarangan total tanpa membedakan makna dan prosedurnya justru menyalahi prinsip Islam yang selalu berlandaskan ilmu, keadilan, dan proporsionalitas.

(Dalil-dalilnya disebut kemudian)

2. Kasus Kedua

Salah satu fatwa yang paling kontroversial dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II adalah mengenai “kewajiban menghentikan kehamilan bagi korban pemerkosaan.”
Fatwa ini diungkapkan oleh Prof. Hj. Masyitah Umar, Guru Besar UIN Antasari Banjarmasin, yang menyatakan bahwa melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan adalah wajib di usia berapa pun kehamilannya, baik dengan cara melanjutkan atau menghentikan kehamilan, sesuai pertimbangan medis dan psikiatris.

Sekilas, pernyataan ini terdengar simpatik dan “berpihak pada perempuan.”
Namun, jika dikaji dengan cermat menurut kaidah fiqh klasik dan maqāṣid al-syarī‘ah, fatwa ini justru menabrak prinsip dasar syariat dan logika hukum Islam.

Apakah dapat dibenarkan keputusan KUPI II mengenai kewajiban menghentikan kehamilan korban pemerkosaan dalam usia kandungan berapapun?

Jawaban Pihak Batsul Masail NU Ploso :
Keputusan KUPI II tidak dapat dibenarkan, karena menimbang:
1) Kekhawatiran akan keselamatan ibu di saat melahirkan masih bersifat dugaan (dhoror mauhum) sehingga belum cukup untuk tindakan aborsi (dhoror muhaqqoq)
2) Melakukan tindakan aborsi dengan alasan “Psikiatris” (kesehatan jiwa) belum sebanding dengan menghilangkan nyawa.
3) Pelegalan aborsi dalam kasus pemerkosaan akan membuka ruang tindakan perzinahan.

(Dalil-dalil disebutkan….untuk file lengkapnya bisa saya kirim)

Ngopidiyyah

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *