✍️ Balqis Humaira
“Sampai kiamat kurang dua hari sekalipun, gak bakal banjir Sumatera dinaikin jadi bencana nasional”. Lo tau kenapa? Karena kalau statusnya naik, itu bukan sekadar urusan air, itu urusan siapa yang bakal kebongkar. Dan yang kebongkar itu bukan sembarang orang. Itu orang-orang yang udah puluhan tahun makan dari tanah yang bukan haknya. Orang-orang yang selama ini sembunyi di balik jargon “pembangunan”, padahal kerjanya ngelucuti isi bumi kayak maling di tengah malam.
Naikin status banjir Sumatera jadi rencana nasional tuh sama aja kayak narik tirai panggung pas pemainnya lagi telanjang. Begitu tirai itu kebuka, selesai semua kedok. Lo bakal lihat pejabat yang tanda tangan izinnya lebih cepat dari gerak jempol influencer. Lo bakal lihat pengusaha sawit yang HGU-nya nembus sampai daerah yang bahkan penduduk lokal aja gak pernah tahu itu hutan apa. Lo bakal lihat barisan elite yang selama ini pura-pura gak tau padahal mereka yang bikin daerah itu bolong kayak roti dimakan tikus.
Ini negara punya pola, Bencana yang aman dibesar-besarin itu bencana yang nggak nyentuh uang orang besar. Begitu nyentuh sesuatu yang punya jejak finansial, punya jejak konsesi, punya jejak korupsi—langsung dikerdilkan. Dibikin seolah cuma “musibah alam”, padahal alam cuma nendang balik setelah dijarah bertahun-tahun.
Kalau banjir Sumatera naik status, pemerintah pusat MAU GAK MAU harus buka data. Buka peta deforestasi. Buka izin tambang. Buka dokumen sawit. Buka semua laporan audit yang selama ini diselem. Dan lo tau apa yang terjadi kalau semua itu dibuka?
Muncul nama-nama yang selama ini kayak dewa: gak bisa disentuh, gak bisa disebut, gak bisa diganggu.
Dan itu yang mereka takutkan.
Karena kalau statusnya nasional, pertanyaannya otomatis berubah.
Bukan lagi “kok bisa banjir?”
Tapi “siapa yang bikin hutan disilet habis?”
Bukan lagi “curah hujan tinggi.”
Tapi “mana peta konsesi yang numpuk kayak sarang laba-laba?”
Bukan lagi “ini bencana alam.”
Tapi “mana laporan reboisasi yang dananya habis tapi pohonnya gak pernah nongol?”
Begitu pertanyaan ke arah situ, udah. Itu game over buat banyak orang.
Dan lo bayangin, kalau sampai banjir ini dianggap “nasional”, berarti BNPB harus ngomong apa adanya. KLHK harus ngaku seberapa parah kerusakan sungai dan hutan. ESDM harus buka dokumen tambang yang udah jadi rahasia umum tapi pura-pura gak ada. Pemerintah daerah harus jelasin kenapa izin bisa keluar lebih cepat dari hujan. Dan semua itu ngebongkar sistem yang udah busuk dari akar sampai pucuk.
Makanya banjir Sumatera dibiarkan tetap “lokal”.
Karena begitu nasional, semuanya kebuka.
Media internasional bakal nimbrung.
LSM bakal nuntut data.
Peneliti bakal nanya deforestasi per tahun.
Investor luar bakal bilang, “lah, kok kayak gini?”
Dan elite yang hidup dari proyek-proyek kotor itu bakal panik kayak tokoh antagonis ketahuan ngumpet di balik lemari.
Gue kasih lo satu fakta pahit:
Bencana gak naik status bukan karena kecil. Tapi karena kalau dinaikkan, yang kebanjiran bukan cuma rumah warga. Yang kebanjiran adalah nama-nama besar.
Sumatera itu udah kayak museum dosa lingkungan.
Tabrak sana sawit ilegal.
Tabrak sini tambang ngawur.
Geser dikit, perampasan tanah masyarakat adat.
Geser lagi, hutan lindung berubah jadi kebun privat.
Dan semua itu akan keliatan terang-benderang kalau bencana ini ditarik jadi nasional.
Makanya, lebih aman dikecilin.
Lebih aman dikunci di level daerah.
Lebih aman dibiarkan sebagai “musibah cuaca”.
Sampai kiamat kurang dua hari pun, negara gak bakal berani naikin status banjir Sumatera.
Karena begitu statusnya naik, satu-persatu topeng bakal copot.
Topeng pejabat.
Topeng pengusaha.
Topeng broker tanah.
Topeng mafia izin.
Topeng proyek-proyek hijau palsu yang cuma hijau di proposal tapi hitam di lapangan.
Semua bakal kebuka.
Dan percayalah, itu yang paling mereka takutin:
bukan airnya yang meluap—tapi kebenarannya.

