Pendapat KH Imaduddin Utsman al-Bantani yang menyebut nasab Ba’alawi tidak tersambung dengan Baginda Rasullah Muhammad SAW direspon keras oleh KH Idrus Ramli.
Secara khusus terkait boleh atau tidaknya memakai hasil Test DNA untuk menolak nasab Ba’alawi sebagai keturunan Rasullah SAW, dimana Kiai Imaduddin sebelumnya menyatakan haplogroup DNA nasab Ba’alawi adalah G, sementara haplogroup nasab Rasullah SAW adalah J1.
Nah, KH Idrus Ramli dalam sebuah videonya di kanal YouTube Muhammad Idrus Ramli, mengatakan bahwa banyak yang tidak memahami hukum aplikasi DNA dalam konteks ilmu fiqih atau syariah islamiah.
Kiai Idrus pun menegaskan dalam konteks ini sudah ada yang berwenang secara syar’i, yakni Dewan Kongres Majelis Fiqih Islam yang pusatnya di Saudi Arabia/Arab Saudi. Anggotanya para ulama ahli Fiqih dari seluruh negara Islam di dunia.
Dijelaskan lima hal dalam kongres majelis fiqih Islam tentang hasil test DNA:
Pertama, Test DNI memang dipakai dalam mengungkap kejahatan-kejahatan seperti kriminalitas dan sebagainya.
Kedua, dalam urusan nasab hasil test DNI tak boleh didahulukan dibanding Nash Syar’i. “Jadi harus mendahulukan Nash dan kaidah-kaidan syar’i dari pada hasil test DNA,” tegas Kiai Idrus.
Ketiga, secara syar’i tidak boleh berpegangan dengan hasil test DNA dalam menafikkan nasab, dan tidak boleh mendahulukan test DNA dalam menentukan li’an.
“Artinya apa? Kalau ada suku, atau orang yang memang nasabnya ke situ lalu ditest DNA hasilnya beda, maka tak bisa dipakai DNA untuk menafikkan nasab tersebut,” jelas Kiai Idrus.
Karena itu, tegas Kiai Idrus, apa yang dilakukan pihak (Kiai Imad) itu enggak boleh seperti itu. Itu melanggar kaidah Syarah. Test DNA tak boleh didahulukan dari kaidah Syarah.
Keempat, tidak boleh menggunakan DNA dengan tujuan memastikan validitas nasab-nasab yang telah ditetapkan secara syar’i.
“Jadi orang orang yang sudah dijelaskan nasabnya secara syar’i itu tak boleh diuji dengan DNA. Enggak boleh secara fiqih, melanggar syariat. Pihak pihak terkait harusnmencegahnya dan memberikan sanksi preventif. Karena dalam larangan itu akan melindungi harga diri manusia dan menjaga nasab mereka,” papar Kiai Idrus.
Kelima, DNA bisa digunakan dalam kondisi-kondisi tertentu yang bersifat darurat, sebagai berikut:
1. Kondisi pertentangan tentang seseorang yang tidak diketahui nasabnya dengan berbagai macam pertentangan yang disebukan oleh para fuqaha. Baik pertentangan tentang orang yang tidak diketahui nasabnya. Karena sebab tidak adanya bukti-bukti atau kesamaan bukti, dan atau sebab keterlibatan dalam wathi’ syubhat dan sesamanya.
2. Kondisi keserupaan pada bayi-bayi yang dilahirkan di rumah sakit dan pusat perlindungan anak-anak dan semacamnya. Demikian pula keserupaan dalam bayi tabung.
3. Kondisi anak-anak terlantar dan bercampur baur yang disebabkan bencana atau peperangan, dan sulit mengetahui keluarga mereka, atau adanya mayat yang tidak bisa diketahui identitasnya, atau dengan tujuan memastikan Identitas tawanan perang dan orang hilang.
“Nah, jadi dalam kondisi darurat ini DNA boleh digunakan. Adapun dalam syarah hukum fiqih, dimana kaidah-kaidah telah menetapkan secara syar’i, DNA tidak boleh digunakan. Seperti DNA untuk menafikan nasabnya orang, lalu nasabnya orang dibilang Yahudi. Itu enggak boleh!” tegas Kiai Idrus.
Kiai lulusan Ponpes Sidogiri ini lantas menyampaikan bahwa keputusan ulama tentang DNA ini sudah ada dalam kitab-kitab dimana semua santri dan Kiai di pondok pesantren pasti memiliki kitab tersebut.
“DNA ini temuan negara barat sebenarnya, maka dari sini saya harap pertentangan ini tidak ada lagi konflik ya, antara sesama umat Islam di Indonesia. Antara trah Wali Songo dengan trah Ba’alawi. Tidak perlu ada konflik lagi karena sudah ada keputusan Dewan Kongres Majelis Fiqih Islam yang terdiri dari para ulama dunia,” tuntas Kiai Idrus Ramli.
Sumber : daulat