Catatan Panjang (Tanpa Nama)! Gus Luthfi: Hendaklah PBNU Takut atau Malu kepada Allah

Kehadiran tiga sosok intelektual anti Palestina — Peter Berkowitz, Swapan Dasgupta, dan Os Guinness — sebagai pembicara dalam diskusi Akademi Kepemimpinan Nasional yang digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), masih menjadi keprihatinan nahdliyin.

KH Luthfi Bashori, putra almaghfurlah KH Bashori Alwi (Malang) ini mengaku prihatin dengan PBNU yang mengundang aktivis Israel dalam sebuah acara penting di negeri ini.

“Hendaklah PBNU takut atau minimal malulah kepada Allah SWT. Sungguh sangat ironis membaca berita ada akademisi yang anti Palestina diundang PBNU,” tegas  Gus Luthfi panggilan akrabnya lewat video pendek berdurasi 03:01 menit terbaca duta.co, Sabtu (30/8/25).

Menurut Gus Luthfi, Allah SWT melalui Alquran sudah jelas-jelas berfirman, bahwa, orang-orang beriman itu diperingatkan agar tidak mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin atau penolong, pelindung atau teman akrab kalian.

Bacaan Lainnya

“Kalau kita menjadikan mereka sebagai pelindung, penolong atau teman akrab, maka, kita termasuk golongan mereka. Ini jelas, dan Allah SWT tidak akan memberikan hidayah kepada orang-orang yang dholim,” tegasnya.

Dan, lanjutnya, kalau tidak takut kepada Allah SWT, mestinya, malulah kepada Rasulullah SAW. “Kanjeng Nabi Muhammad sudah berwasiat kepada kita, umat Islam janganlah kita (mengawali) memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Bahkan jika kita berpapasan di jalan (misalnya), paksalah mereka minggir alias menepi. Ini saking pentingnya masalah tersebut. Ini hadits Imam Muslim,” urainya.

Selain Gus Luthfi, beredar juga di medsos yang mengingatkan PBNU. Sebagai pengingat sejarah kepemimpinan NU. Catatan panjang bertajuk ‘Telikungan Zionisme Global dalam Sejarah Kepemimpinan NU’ ini beredar luas. Tetapi, sayang, penulisnya bersembunyi.

“Siapa penulisnya? Mengapa sembunyi diri? Isinya seabrek dan semua adalah masalah kita, NU. Ada empat bab – dalam tulisan itu – yang ia paparkan. Kebiasaan ‘melempar batu sembunyi tangan’, jelas tidak bagus. Selain hanya sebagai bahan olok-olok belaka, ini jelas bukan solusi bagi organisasi kita, NU,” demikian disampaikan Abasofie, nahdliyin Sidoarjo, Jumat (29/8/25).

Berikut catatan panjangnya:

DI TENGAH hiruk pikuk politik nasional dan tantangan keumatan yang tak kunjung usai, sebuah kabar dari jantung kepemimpinan Nahdlatul Ulama (NU) menyentak kesadaran kolektif. Kabar itu bukan tentang fatwa fikih atau program pemberdayaan ekonomi, melainkan tentang kehadiran tiga sosok intelektual asing—Peter Berkowitz, Swapan Dasgupta, dan Os Guinness—sebagai pembicara dalam Akademi Kepemimpinan Nasional yang digelar oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Bagi sebagian kalangan, ini mungkin tampak seperti agenda biasa: sebuah organisasi Islam terbesar di dunia membuka diri pada dialog lintas batas, sebuah cerminan dari Islam Nusantara yang kosmopolit dan moderat. Namun, bagi mereka yang menelisik lebih dalam, yang membaca rekam jejak dan afiliasi ideologis para tamu terhormat ini, acara tersebut terasa seperti sebuah paradoks yang menusuk; sebuah *telikungan*—manuver tajam dan tak terduga—yang berisiko mengaburkan garis demarkasi ideologis yang telah dijaga NU selama hampir satu abad.

Kehadiran trio ini bukanlah sekadar pertukaran gagasan. Ia adalah simbol dari sebuah operasi senyap, sebuah infiltrasi *soft power* yang dilakukan oleh jejaring Zionisme global untuk menembus benteng pertahanan moral terakhir umat Islam di panggung dunia: Nahdlatul Ulama. Mengapa ini disebut “telikungan”? Karena ia datang bukan melalui konfrontasi, melainkan melalui pintu yang dibuka sendiri oleh tuan rumah, dengan menggunakan narasi-narasi yang selama ini justru menjadi kebanggaan NU: dialog, moderasi, dan kemanusiaan. Ini adalah esai untuk membongkar anatomi dari manuver tersebut, menelusuri akarnya dalam sejarah, dan merefleksikan implikasinya bagi masa depan NU dan Indonesia.

*Bab I: Akar Sejarah – NU, Palestina, dan Spirit Anti-Kolonialisme*

Untuk memahami betapa problematiknya peristiwa ini, kita harus menarik mundur jarum jam sejarah ke titik pijak perjuangan Nahdlatul Ulama. NU tidak lahir di ruang hampa. Ia adalah anak kandung dari pergulatan melawan kolonialisme. Para *muassis* (pendiri) NU, yang dipimpin oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, menanamkan spirit *hubbul wathan minal iman* (cinta tanah air adalah bagian dari iman) bukan sebagai slogan kosong, melainkan sebagai teologi perlawanan terhadap penindasan.

Sikap anti-kolonialisme ini secara alamiah meluas melampaui batas-batas Nusantara. Solidaritas NU terhadap bangsa-bangsa terjajah adalah sebuah keniscayaan ideologis. Palestina, dalam konteks ini, menempati posisi yang istimewa. Jauh sebelum negara Israel berdiri, ketika proyek Zionisme baru berupa cita-cita politik yang didukung oleh kekuatan kolonial Inggris, para kiai NU telah menunjukkan kepekaan dan kewaspadaan yang luar biasa.

Momen historis yang paling monumental adalah *Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten, pada tahun 1938*. Dalam forum terhormat itu, para ulama NU tidak hanya membahas masalah-masalah keagamaan domestik. Mereka secara spesifik membahas nasib Palestina. Muktamar tersebut menghasilkan sebuah keputusan bersejarah: menyerukan kepada umat Islam untuk melakukan penggalangan dana (*tabarru’*) guna membantu perjuangan rakyat Palestina melawan ekspansi Zionis yang didukung Mandat Britania. Ini bukan sekadar simpati kemanusiaan; ini adalah sikap politik yang jelas, sebuah pengakuan bahwa Zionisme adalah sebuah bentuk kolonialisme baru yang mengancam tanah suci dan menindas penduduk pribumi.

Sikap ini terus konsisten sepanjang sejarah. NU menjadi tulang punggung moral bagi kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan pro-kemerdekaan Palestina, sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yang menentang segala bentuk penjajahan di atas dunia. Bagi NU, isu Palestina bukanlah sekadar konflik agama antara Islam dan Yahudi. Ia adalah isu *keadilan, kemanusiaan, dan perlawanan terhadap kolonialisme modern* dalam bentuknya yang paling brutal: *settler-colonialism* (kolonialisme pemukim), di mana populasi pendatang secara sistematis menggantikan dan menyingkirkan populasi asli.Memahami akar sejarah ini sangat krusial. Ia menunjukkan bahwa keberpihakan NU pada Palestina bukanlah tren sesaat atau sentimen populis, melainkan bagian integral dari DNA ideologisnya. Ia adalah perwujudan dari *khittah* perjuangan yang diwariskan para pendiri. Maka, ketika PBNU hari ini menggelar karpet merah untuk tokoh-tokoh yang rekam jejaknya adalah memberikan legitimasi intelektual dan politik bagi proyek kolonialisme tersebut, pertanyaan yang muncul bukanlah “mengapa tidak boleh berdialog?”, melainkan “apakah kita sedang mengkhianati sejarah perjuangan kita sendiri?”.

Selangkapnya : https://duta.co/catatan-panjang-tanpa-nama-gus-luthfi-hendaklah-pbnu-takut-atau-malu-kepada-allah?fbclid=IwdGRjcAMkNO9jbGNrAyQ06WV4dG4DYWVtAjExAAEe7Qp8GjXPYEoH-kw8ou-ilE3K8wPdT0LvIp2b8xx0myLNft2D7y6sVDbayIA_aem_RkGiMvPaOozwCxmIGFCShA

Sumber : Duta.co

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *