Dikepung Rakyatnya, Bupati Pati Menolak Mundur

Di Luar Demo, di Dalam Hak Angket, Sudewo pun di Ujung Tanduk

Sampai detik ini, ratusan ribu warga menggelar demo di luar gedung DPRD Pati. Sementara di dalam, seluruh fraksi sepakat keluarkan jurus maut, Hak Angket. Sudewo pun di ujung tanduk. Tinggal pertolongan presiden bisa menyelamatkan posisinya. Simak narasi terkini dari Pati sambil seruput kopi tanpa gula, wak.

Langit Pati masih memerah. Matahari tergantung di ufuk barat, tapi sinarnya tak lagi hangat. Ia seperti lampu tua yang memandang bosan pada panggung drama politik. Jalanan mendidih, bukan oleh lava gunung berapi, melainkan oleh gelombang manusia yang menggerakkan kaki mereka seperti genderang perang. Mereka datang dengan teriakan, spanduk, dan amarah yang tak lagi bisa diikat dengan pita janji manis.

Di tengah kerumunan itu, berita terbaru berdesir, DPRD Pati sepakat menggunakan Hak Angket. Ini senjata pamungkas parlemen daerah. Biasanya hanya keluar jika kopi sudah terlalu pahit untuk diminum. Sementara itu, sang Bupati, Sudewo, yang kabarnya sempat diisukan mundur, justru memilih berdiri tegak menolak mundur. Seperti kapten kapal yang berjanji akan tetap di dek meskipun kapal itu sudah miring 45 derajat dan pelampungnya habis diborong awak kapal sendiri.

Massa sudah tak peduli lagi, Sudewo ngotot tak mundur. Mereka malah makin membara. Di alun-alun, aroma campuran debu, keringat, dan bensin dari kendaraan yang terbakar menampar hidung siapa pun yang berani menghirup. Sejumlah polisi yang awalnya berjaga kini malah menjadi pihak yang diamankan pendemo. Pemandangan absurd tersaji. Ada polisi berlari-lari kecil dikejar massa, ada yang berlindung di balik gerobak bakso, ada yang kehilangan sepatu, dan ada yang matanya melotot karena dilempari botol air mineral yang entah kenapa terasa seperti granat moral.

Gas air mata yang ditembakkan untuk membubarkan massa justru menambah teater tragedi. Seorang demonstran terkulai lemas di trotoar, napasnya tersengal, wajahnya pucat. Beberapa kawannya dengan sigap menggotongnya sambil meneriakkan, “Oksigen! Bawa oksigen!” dan entah dari mana, sebuah tabung oksigen muncul, seperti properti ajaib dari panggung sirkus. Mereka menempelkan masker tabung itu ke wajahnya, sementara di sekeliling mereka, asap gas air mata terus bergulung seperti kabut neraka.

Adegan ini bukan sekadar protes, tapi seperti bab terakhir dari epos rakyat yang muak. Setiap batu yang dilempar, setiap ban yang dibakar, adalah puisi kemarahan yang ditulis dengan tinta peluh. Mereka tak lagi peduli siapa di depan mereka, selama simbol kekuasaan itu masih berdiri, mereka akan terus menggempur.

Di panggung politik, Hak Angket DPRD menjadi peluru yang diarahkan ke kursi bupati. Namun, di luar gedung itu, di jalanan yang berdebu, rakyat sudah punya bahasa mereka sendiri, bahasa lemparan, bahasa bakar-bakaran, bahasa teriakan serak yang memukul telinga siapa saja yang merasa kebal. Ketika sang Bupati dari kader Gerundra ini berkata ia menolak mundur, suara di lapangan menjawab dengan nada yang tak lagi bisa disensor, “Kami juga menolak diam!”

Dari balkon-balkon toko yang tutup, orang-orang menonton. Ada yang mengangkat ponsel, ada yang hanya menggeleng, seakan berkata, “Inilah Pati hari ini. Panggung absurd di mana aktor dan penonton sama-sama lelah.” Langit semakin merah, bukan karena senja yang indah, melainkan pantulan api dari ban-ban yang dibakar. Entah besok atau lusa, apakah lakon ini akan berakhir dengan tepuk tangan, tangisan, atau sekadar keheninga. Yang jelas, drama ini sudah menjadi bagian dari kitab besar suara rakyat, yang tak akan pernah selesai ditulis.

Di tengah asap, lemparan, dan teriakan itu, Kang Ngopi di warung pojok cuma senyum sambil mengaduk gula yang tak larut-larut, lalu berucap pelan, “Kekuasaan itu seperti kopi panas, kalau diminum rakus bisa bikin lidah melepuh. Kalau didiamkan terlalu lama bisa dingin dan basi. Maka pemimpin harus tahu kapan menyeruput, kapan meniup, dan kapan meletakkan cangkirnya agar orang lain juga bisa ikut merasakan hangatnya.”


Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *