Hukum Bertakziyah Serta Mendoakan Orang Kafir & Orang Yang Mati Bunuh Diri

Konsultasi Agama Bersama KH. Luthfi Bashori

Bacaan Lainnya

TAKZIYAH KEMATIAN

[16/11, 15.43] PENANYA:
Assalaamu’alaikum, Kyai
Izin bertanya, bagaimana cara kita berbelasungkawa atas meninggalnya:

  1. Orang kafir
  2. Meninggal bunuh diri

Sekian.

[16/11, 15.58] JAWABAN :

  1. Mayitnya orang kafir itu HARAM didoakan ampuman & kebaikan.

وَأَمَّا الصَّلَاةُ عَلَى الْكَافِرِ وَالدُّعَاءُ لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ فَحَرَامٌ بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَالْإِجْمَاعِ

“Adapun menshalati orang kafir dan mendoakannya agar mendapat ampunan, hukumnya haram berdasarkan nash Al-Qur’an dan ijma’ (konsensus ulama).” (Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ [Beirut: Darul Fikr, tt] juz V, halaman 258).

SARAN: Jika si kafir itu tetangga, datanglah ke rumahnya setelah ritual-ritual keberangkatan mayit yang dipimpin oleh tokoh/pendetanya.

Datang dan katakan kpd keluarganya: “Semoga kalian tetap sabar atas kematian keluarga kalian ini.”.



2.  Kalau yang bunuh diri seorang muslim, ya tetap saja perlu bertakziah kepada keluarganya seperti umumnya orang bertakziah terhadap jenazah muslim. Orang muslim yang mati bunuh diri itu tidak menyebabkan pelakunya kafir, tapi tetap dihukumi sebagai orang muslim.

أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ وَأَهْلُ السُّنَّةِ أَنَّ مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ أَنَّهُ لَا يَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنِ الْإِسْلَامِ ، وَأَنَّهُ يُصَلَّى عَلَيْهِ ، وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ كَمَا قَالَ مَالِكٌ ، وَيُدْفَنُ فِى مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ ، وَلَمْ يُكْرِهِ الصَّلَاةَ عَلَيْهِ إِلَّا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، وَالْأَوْزَاعِيُّ فِى خَاصَةِ أَنْفُسِهِمَا

Artinya: Para fuqaha dan ulama dari kalangan Ahlusunnah sepakat bahwa orang yang mati karena bunuh diri tidak keluar dari Islam, ia tetap dishalatkan, dan wajib menanggung dosa akibat perbuatannya sebagaimana dikemukakan Imam Malik, dimakamkan di pemakaman orang-orang Muslim. Hanya Umar bin Abdul Aziz dan Al-Awzai yang menganggap makruh penshalatan jenazah orang yang meninggal karena bunuh diri di mana keduanya memakruhkan khusus untuk dirinya sendiri (Ibnu Baththal, Syarhu Shahihil Bukhari, Riyadl, Maktab Ar-Rusyd, cet ke-2, 1423 H/2003 M, juz III, halaman 349)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *