JIHAD MENAFKAHI KELUARGA

✍️ KH. Luthfi Bashori

Istilah pejuang/pahlawan nafkah, atau pahlawan devisa atau yang semisalnya dan cukup viral di tengah masyarakat saat ini, adalah sebuah istilah yang aslinya mengadopsi dari hadits Nabi Muhammad SAW. 

Rasulullah SAW bersabda: “Jihad itu bukan (hanya) seseorang memukulkan pedangnya di jalan Allah, melainkan (juga) seseorang yang menjamin (kehidupan) kedua orangtuanya, dan menjamin anaknya, maka dialah orang yang berjihad. Barangsiapa menjamin dirinya sendiri agar ia tidak meminta-minta kepada orang lain, maka dia adalah orang yang berjihad.” (HR. Imam Ibnu Asakir melalui Sayyidina Anas RA).

Maksudnya, pengertian jihad itu bukan hanya terbatas pada memukulkan senjata dalam perang fisabilillah, melainkan termasuk pula ke dalam pengertian berjihad yaitu orang yang menjamin kehidupan ke-dua orang tuanya dan yang menjamin kehidupan istri serta anak-anaknya. Termasuk pula ke dalam pengertian berjihad, yaitu seseorang yang menahan hawa nafsu duniawinya agar tidak membahayakan bagi orang lain.

Artinya, bahwa makna jihad itu cakupannya sangat luas, paling tidak segala usaha atau upaya yang ikhlas dan bisa memberi manfaat bagi pihak lain itu dapat dikategorikan jihad di jalan Allah.

Diambil dari sabda Nabi Muhammad SAW di atas, maka pengertian jihad untuk membela agama Allah, diantara caranya dengan mengerahkan semua kekuatan dan potensi yang dimiliki, baik jiwa maupun harta benda.

Pengertian jihad yang k-dua ialah berperang melawan kemiskinan agar jangan menjadi beban bagi orang lain, karena sesungguhnya kemiskinan itu dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kekufuran.

Pengertian yang ketiga ialah jihad melawan hawa nafsu sendiri, dan hal jihad bagian ketiga inilah jihad yang paling berat bagi setiap orang, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW:

“Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran besar. Lantas sahabat bertanya, “Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai Rasulullah? Rasul menjawab, “jihad (memerangi) hawa nafsu.” (HR. Al-Baihaqi).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *