Terlebih dahulu, mari kita kirimkan doa atau alfatehah untuk korban “bencana tanda tangan” di Pulau Sumatera yang sudah mencapai 303 korban jiwa. Baik, saya ingin melanjutkan cerita prahara PBNU. Rais Aam, KH Miftahul Akhyar keluarkan jurus pamungkas, bentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengungkap kelakuan Gus Yahya yang sudah dipecat. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
Dalam logika fikih, setiap kekacauan harus diurai seperti fasl dalam kitab kuning. Pelan, teliti, jangan ada yang melompat, jangan ada yang ditelan. Maka ketika PBNU tiba-tiba ribut seperti halaqah bahtsul masail yang kehabisan kopi, Rais Aam KH Miftachul Akhyar pun mengambil jalan ihtiyat. Ia membentuk TPF. Ini bukan sekadar tim investigasi, tapi semacam qadhi musharraf yang dikirim menelisik apakah kegaduhan ini punya dasar hujjah atau cuma fitnah setara hadis palsu “barang siapa rajin rebahan akan dimuliakan”. Ups.
TPF berdiri untuk empat perkara yang sedang menggelegak. Pertama, isu tambang, dugaan keterlibatan PBNU atau oknum tertentu dalam jaringan bisnis pertambangan yang membuat publik mendadak berubah menjadi santri ahli sanad, mengejar siapa bertemu siapa dan kapan. TPF akan menyisir semuanya seperti ulama muhaqqiqin memeriksa mutan, memastikan apakah dugaan tersebut maushul (bersambung) atau munqathi’ (putus), apakah benar ada alur ekonominya atau hanya julid kolektif berjamaah.
Kedua, isu Zionis Israel, yang hebohnya sudah menyaingi teori konspirasi pasal-pasal ghaib dalam kitab akhir zaman. Ada tudingan, pencopotan Gus Yahya berkaitan dengan pihak asing, khususnya Zionis Israel. TPF bertugas memeriksa apakah kabar ini tsabit, syadz, atau sekadar gosip yang melompat seperti kucing pesantren kena petasan. Mereka akan meneliti alur peristiwa, dokumen publik, dan menilai apakah ada jejak nyata atau hanya fitnah sebesar Gunung Uhud yang dilemparkan untuk memecah warga nahdliyin.
Ketiga, kesahihan informasi publik. Simpang siur kabar yang beredar sudah seperti kitab syarah yang ditulis oleh lima ulama dengan lima pendapat berbeda. Ada versi media nasional, versi media sosial, versi grup WhatsApp alumni pondok, sampai versi emak-emak pengajian yang entah dapat dari mana. TPF bertugas menyaring semuanya, seperti tamyiz antara yang rajih, marjuh, dan yang semestinya dimasukkan ke tong sampah epistemik.
Keempat, konflik internal PBNU, terutama pencopotan Gus Yahya dari kursi Ketua Umum. Ini yang paling rumit, karena bukan hanya soal hukum organisasi, tapi juga soal dinamika sosial, politik, dan “pertimbangan-pertimbangan nonformal” yang selalu ada dalam tradisi besar seperti NU.
Namun ada satu bab yang tidak boleh hilang dari kitab besar konflik ini, manuver Jawa Timur.
Ketika suasana PBNU sudah panas seperti kitab kuning yang ditaruh dekat tungku nasi, PWNU Jawa Timur menggelar pertemuan besar. Di sini, suara Jatim, yang selama ini dianggap barometer kekuatan kultural NU, tiba-tiba menjadi penentu arah angin. Pertemuan itu melahirkan tekanan politik moral yang membuat banyak pihak membaca ulang seluruh dinamika konflik. Bagi TPF, pertemuan PWNU Jatim ini bukan sekadar catatan pinggir, tapi qarinah kuat yang harus dianalisis, apakah ia sekadar forum konsolidasi, atau justru menjadi titik balik yang mendorong Rais Aam mengambil langkah-langkah tertentu.
Di tengah situasi itulah muncul bab paling dramatis, Gus Yahya memecat Gus Ipul. Ini adalah salah satu momen paling keras dalam sejarah organisasi, seperti fasakh dalam fikih munakahat, keputusan sah tetapi pedih. Pemecatan itu menjadi pertanda, konflik sudah masuk kategori khilaf mu’atstsil, perselisihan yang menimbulkan dampak struktural. TPF harus menilai apakah pemecatan itu memiliki illat yang jelas, atau ada faktor-faktor lain yang berputar di balik layar seperti ‘illah gharirah yang sulit dilacak.
Dengan adanya pemecatan ini, konflik internal tidak lagi bisa dibahas seperti perbedaan hukum antara Syafi’i dan Hanafi, ini sudah setara ikhtilaf yang sampai menciptakan dua jamaah salat Id di satu kampung.
Di tengah hiruk-pikuk itu, publik memproduksi narasi seperti jamaah yang memproduksi qawl baru. Ada yang menuduh PBNU telah disusupi kepentingan tambang, ada yang curiga dengan jejak asing, ada yang menilai ini semata perebutan kekuasaan. Semua data, semua narasi, semua rekaman konferensi pers, semua pernyataan resmi maupun setengah resmi, TPF wajib mengumpulkan semuanya tanpa ada yang dibuang. Tanpa itu, fakta akan lahir pincang seperti kitab fikih yang kehilangan dua halaman kunci.
Langkah Rais Aam membentuk TPF adalah bentuk tahqiqat, verifikasi total untuk mengembalikan ketertiban. Dalam fikih, ini disebut sadduz dzari’ah, menutup pintu kerusakan sebelum menjadi fitnah besar yang membelah umat. Bila TPF berhasil, PBNU bisa kembali seperti syajarah thayyibah yang akarnya kokoh dan buahnya menenangkan. Bila gagal… jangan sampai diperlukan muktamar darurat berjamaah yang setara kiamat kecil Nahdlatul Ulama.
TPF kini menjadi ijtihad jama’i. Mereka harus berjalan ke mana pun data membawa, ke hutan isu tambang, ke jurang rumor Zionis, ke kabut simpang siur informasi, ke lorong-lorong keputusan struktural PBNU, ke pertemuan-pertemuan PWNU Jawa Timur, sampai ke jantung konflik antara Gus Yahya dan Gus Ipul. Semua harus dibuka, dicatat, dan ditashihkan.
Dalam fikih ada kaidah, al-bayyinatu ‘alal mudda’i. Barang siapa menuduh, harus mendatangkan bukti. Maka TPF berdiri sebagai penjaga kaidah itu, agar umat tidak hanyut oleh prasangka, dan organisasi tidak tenggelam oleh fitnah yang terus membesar.
Begitulah, cak. Kitab besar konflik PBNU sedang ditulis ulang. TPF adalah syarh (penjelas)-nya. Buku yang akan menentukan apakah rumah besar NU kembali rapi, atau justru butuh halaqah khusus penyembuhan jamaah.
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
