Belakangan ini kembali mencuat istilah “Wahabi” di tengah masyarakat.
Ramainya isu Wahabi setidaknya seiring adanya insiden penolakan kajian tokoh tokoh wahabi dibeberapa wilayah Indonesia belakangan ini.
Atas beredarnya isu Wahabi, Khalid Basalamah ( salah satu tokoh wahabi ) sendiri sudah membantah tegas bahwa informasi yang beredar tersebut tidaklah benar.
“Jadi mereka di Yaman itu menggemparkan isu-isu yang tidak benar tentang ahli sunnah dengan sama perkataan wahabi-wahabi. Seakan-akan wahabi ini momok yang menakutkan,” ujarnya dikutip dari kanal Youtube Lentera Islam, Selasa 27 Februari 2024.
Berbeda dengan pembelaan Khalid Basalamah, KH Muhammad Idrus Ramli dari Pondok Pesantren Sidogiri menyebutkan bahwa keberadaan Wahabi memang ada.
Namun keberadaan Wahabi, tidak diakui sendiri oleh penganutnya. Mereka lebih suka penggunakan istilah Salafi.
“Ada orang namanya salafi. Nah yang salafi ini yang beda dengan kita itu sebenarnya Wahabi. Mengapa mereka ini pakai nama salafi, enggak mau dengan nama Wahabi? Ιni memang trik mereka,” ujar kiai yang akrab disapa Gus Idrus Ramli ini.
Diungkapkan KH. Idrus Ramli, kaum Wahabi awalnya bangga dengan nama Wahabi yang disematkan atas ulama asal Arab Saudi dan merupakan guru dari Pendiri Kerajaan Arab Saudi Raja Abdul Aziz yaitu Syekh Sulaiman bin Abdul Wahhab al Najdi.
Syekh Sulaiman mengarang kitab Al Shawaiq al Ilahiyah fi al Raddi ‘ala al Wahabiyah yang di antaranya berisi tentang poin mengkafirkan lawan dan umat Islam yang tidak sejalan.
“Mereka bangga dengan nama itu lalu terjadi perang saudara sesama setelah terjadi perang saudara saling membunuh nama Wahabi menjadi jelek. Mengapa kerjanya membunuh saudaranya sendiri, akhirnya apa? Karena Wahabi ini tidak percaya diri dengan nama Wahabi merasa malu karena kesannya jelek, Wahabi mengganti nama menjadi salafi,” ujarnya melalui pengajian ba’da Magrib yang disiarkan di media sosial Facebook.
“Namanya salafi, karenanya Wahabi yang di sini namanya salafi. Kalau dibilang Wahabi mereka tersinggung. Dulu katanya bukan Wahabi, tapi orang berbicara Wahabi tersebut nama aja,” imbuhnya.
“Ini nggak cocok. Mengapa gak cocok? Karena salafi secara harfia yang dimaksud salafi ini kata syekh Muhammad Said Ramadhan Al Mukti itu bukan pemikiran, tapi marhalah zamani,” ujarnya.
Di mana, Salafi itu merupakan fase perjalanan pada 3 abad pertama dalam Islam. Ajaran yang dilaksanakan umat yang hidup pada abad tersebut.
Sedangkan abad-abad berikutnya sudah masuk fase Kholafi.
“Mereka itu hidup sekarang, bukan hidup dulu kok bisa namanya Salafi,” katanya.
“Wahabi ini ya propagandanya mengikuti manhaj salaf. Padahal ulama salaf itu, tidak hanya satu metode pemikirannya, tidak satu, banyak ulama-ulama,” terangnya.
Ia menyebutkan, Wahabi hanya mengambil pemikirann dari Imam Ahmad bin Hambal. “Pada pemikiran-pemikiran Imam Ahmad bin Hambal yang diterima oleh Syekh Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah ini hidup pada akhir abad ke-7 dan awal abad ke-8. Nah menurut Wahabi, pemikiran Ibnu Taimiyah yang berbeda dengan imam Ahmad bin hambal, maka pendapat imam Ahmad bin Hambal enggak diambil,” jelasnya.
“Mengapa yang dianggap salafi adalah pikiran Ibnu Taimiyah, padahal abad ke-8 lalu dipersempit lagi tidak semua pikirannya itu diambil oleh Wahabi, dipersempit pada pikiran pendiri Wahabi syekh Muhammad karena itu kalau ada pendapat Ibnu Taimiyah berbeda dengan syekh Muhammad itu bukan salah yang salah adalah Muhammad bin Abdul sebagian salafi yang di Indonesia, makanya Wahabi ini semakin lama semakin nggak karu-karuan cara ibadahnya. Beda dengan ibadahnya Wahabi yang dulu-dulu itu,” ujarnya.
“Cara sholat nya beda dengan kita, mereka gak mau sama, lalu tidak mau baca qunut dan membaca pelan basmalah,” katanya.
‘Jarak kakinya kira-kira setengah meter dan menginjak kaki jamaah (lain),” imbuhnya.
Gus Idrus Ramli juga menilai, Wahabi saat ini selalu memiliki pendapat-pendapat baru dan yang penting beda dengan mayoritas umat Islam.
“Pendapat mereka ini dianggap salaf. Padahal dulunya enggak ada,” katanya.