Salah satu bentuk transformasi fiqih Islam ke arah liberalisme agama sesuai amanat nilai moderasi Islam adalah munculnya pandangan “Jilbab tidak wajib”. Interpretasinya, Jilbab bukan ajaran wajib Al-Qur’an, Sunnah. Melainkan produk budaya arab yg lahir dari proses Qiyas dan Ijma.
Di Indonesia, pandangan tidak wajibnya Jilbab atau jilbab budaya arab yg dikampanyekan kalangan sekuler-liberal kebanyakan merujuk pada buah pikir prof.Quraish Shihab.
Prof. Quraish Shihab dalam kitabnya “Jilbab Pakaian Perempuan Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendekiawan Kontemporer”, menyatakan: Berjilbab tidak wajib yg penting berpakaian sopan dan “terhormat”.
Pendapat Prof. Quraish ini banyak dikritik karena kacauanya penggunaan metode tafsir, minimnya referensi fiqih dan banyak mengambil pendapat pemuka sekuler yg tidak otoritatif.
Salah satu tokoh sekuler yg pendapatnya paling diandalkan prof. Quraish adalah Qosim Amin (1803-1908). Qosim merupakan tokoh sekuler Mesir, alumni Prancis yang dididik oleh para Orientalis.
Dalam bukunya “Tahrir Al Mar’ah (Pembebasan Perempuan), Qosim mengajak perempuan Mesir menanggalkan jilbabnya. Dia menulis bahwa tidak ada satupun ayat di dalam Al-Qur’an yg mewajibkan perempuan memakai pakaian khusus berupa jilbab.
Qosim juga membolehkan perempuan menampakkan sebagian tubuhnya pada lelaki non-mahram. Lewat pemikirannya itu, Qosim Amin dianggap sebagai penanggung jawab utama banyaknya muslimah Mesir yang kini melepaskan jilbab, berpakaian nyeleneh, dan berani berbikini alias setengah telanjang.
Mentor saya di Forum Jurnalis Muslim dan di DDI, Dr. Adian Husaini, menyatakan prof. Quraish dalam bukunya, selain mengandalkan pendapat Qosim Amin, dia juga banyak menggunakan pendapat dari Nawal Sa’dawi (Feminis Mesir), Syahrur, dan tokoh sekuler Mesir bernama Muhammad Said Al-Asymawi.
Ust. Adian menyebutkan, sekitar 30% isi buku Quraish Shihab mengambil dari buku Haqiqatul Hijab Wa Hujjiyatul Hadis karya Asymawi.
Bahkan prof. Quraish menuliskan pendapat tidak wajibnya berjilbab yg diambilnya dari Asymawi dan Syahrur sebanyak 49 halaman.
Asymawi dan syahrur adalah dua tokoh liberal yg mengimani cara berfikir: semua agama sama benarnya (relativisme) dan cenderung berpikiran hermeunetik. Keduanya menyatakan tidak ada yg pasti dalam Al-Qur’an. Semua bisa ditafsirkan sesuai kehendak yg menafsirkan dan berdasarkan logika kontekstual.
Termasuk dalam kaitan ini adalah jilbab. Boleh ditafsirkan sesuai kehendak penafsir berdasarkan konteks perkembangan zaman.
Metode tafsir kontekstual berbasis cara berfikir hermeunetik seperti ini, tidak bisa diterima. Sebab Al-Qur’an akan ditafsirkan semaunya sesuai kepentingan dan berpotensi dikanibalisasi sesuai perkembangan zaman.
Ketika mengambil pendapat tidak wajibnya jilbab dari Asymawi dan Syahrur, prof Quraish sadar, keduanya bukan ulama dan tidak otoritatif dalam masalah hukum fikih. Namun Quraish Shihab menukil pendapat mereka untuk melawan pendapat mayoritas ulama salaf.
Anehnya, Quraish Shihab sendiri mengakui bahwa Syahrur dalam memaparkan pandangannya mengenai tidak wajibnya berjilbab tidak menggunakan dalil sama sekali melainkan tafsir logika subyektifitas belaka.
Dari sini terlihat, kecondongan Referensi yang dikutip Quraish Shihab dominannya bersumber dari tokoh-tokoh Sekuler yg tidak otoritatif dalam persoalan fiqih, terutama fiqih mengenai kewajiban berjilbab. Mereka sama sekali tidak menggunakan dalil yg bersumber dari Al-Qur’an dan hadits, alias hanya menggunakan logika subyektif.
Padahal semua orang Islam di dunia, termasuk prof. Quraish sendiri mengerti, fungsi menggunakan jilbab adalah untuk menutup aurat.
Secara bahasa, aurat berasal dari kata (‘aurah), ‘ara, ya’iru, artinya cacat. Dimana kecacatan adalah keburukan yang tidak boleh dilihat orang lain.
Di arab, orang-orang membahasakan aurah sebagai rumah tak terjaga atau lemah penjagaannya yg rawan sekali digondol maling. Hal ini sejalan dengan makna kalimat: “inn buyutana ‘aurah wa ma hia bi’aurah“.(al-ahzab: 13).
Maka orang arab setelah turun ayat di atas, mereka meyakini menutup aurat adalah cara terbaik bagi orang berakal melindungi diri dari hal-hal yang negatif yang dapat merusak kehormatan diri.
Sementara bagi orang beriman, menutup aurat adalah murni kerja ibadah demi memperoleh ridha-Nya. Dalam hal ini, orang beriman tidak punya catatan apa-apa, selain patuh dan tunduk kepada agama.
Bagi orang beriman dan berakal, soal kewajiban menggunakan jilbab sudah selesai dari dulu. Sebab dalam pandangan empat mazhab, menutup aurat bagi perempuan adalah wajib mutlak. Yang menjadi titik perbedaan hanya di dua bagian tubuh saja, yakni wajah dan telapak tangan.
Ini sesuai perintah Allah Swt,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: Al Ahzab : 59).
Juga hadis dari Rasulullah ﷺ,
“Tidak dibenarkan bagi seorang perempuan yang percaya kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua tangannya, kecuali sampai di sini (Nabi kemudian memegang setengah tangan beliau).”(HR: At Thabari)
Juga hadis yang lain yang berbunyi,
“Apabila perempuan telah haid, tidak wajar terlihat darinya kecuali wajah dan tangannya sampai ke pergelangan.” (HR. Abu Daud).
Dari Sayyidah Aisyah Ra, ia berkata, “Semoga Allah merahmati kaum perempuan yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya : “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dadanya.” (QS: An Nuur :31), maka kaum perempuan itu merobek kain sarung mereka dan menutup kepala mereka dengannya.” (HR Bukhari.)
Faisal Lohy ( Penulis )