Oleh Ayik Heriansyah
( Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat )
Kasus dugaan korupsi kuota haji 2023–2024 yang menyeret sejumlah pejabat Kementerian Agama menjadi tamparan keras bagi publik. Di tengah kampanye moderasi beragama yang digencarkan oleh pemerintah, justru muncul praktik korupsi yang mencederai amanah umat. Ironi ini mengundang refleksi mendalam: kita terlalu sibuk mengatur cara orang beribadah, namun bersikap lunak terhadap korupsi yang nyata-nyata merusak kehidupan rakyat.
Indonesia mendapat tambahan kuota haji sebanyak 20.000 jemaah dari pemerintah Arab Saudi, hasil diplomasi Presiden Joko Widodo. Sesuai regulasi, kuota tersebut seharusnya dibagi 92% untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus. Namun, Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Gus Yaqut diduga membagi kuota secara tidak proporsional: 50% untuk masing-masing jenis. Akibatnya, dana haji yang seharusnya masuk ke kas negara justru mengalir ke pihak swasta, terutama biro travel haji.
Korupsi seperti ini bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ia merampok dana pendidikan anak-anak, menghambat pembangunan rumah sakit, dan memperpanjang kemiskinan. Korupsi adalah bentuk kekerasan struktural yang tak kalah berbahaya dari ekstremisme ideologis.
Ironisnya, banyak pejabat yang mengusung citra moderat dalam beragama—toleran, santun, dan menjunjung keberagaman—namun justru radikal dalam korupsi. Mereka beragama, percaya kepada Tuhan dan hari akhir, tetapi menempatkan agama sebagai urusan privat. Tuhan dianggap tidak relevan dalam urusan birokrasi dan administrasi. Padahal, justru di sanalah nilai-nilai ilahi seperti kejujuran, amanah, dan tanggung jawab seharusnya hadir.
Jika kita bersikap moderat terhadap korupsi—memaklumi, mengabaikan, atau bahkan berpartisipasi di dalamnya—maka kita sedang membiarkan kanker ini menyebar dan membunuh masa depan bangsa. Kita perlu membalikkan narasi: jadilah umat yang moderat dalam beragama, tetapi radikal dalam integritas.
Radikalisme dalam kejujuran adalah satu-satunya radikalisme yang layak diperjuangkan. Kita harus berani menuntut keadilan tanpa pandang bulu, bahkan jika pelakunya adalah mereka yang berbicara atas nama agama, toleransi, atau kebangsaan.
Beragama bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi juga soal keadilan sosial. Jika moderasi beragama tidak diiringi dengan kejujuran, maka ia hanya menjadi topeng. Dan jika korupsi terus dibiarkan, maka ancaman terhadap NKRI bukan datang dari kelompok radikal teror, melainkan dari tangan-tangan pejabat sendiri.