MUNAS PBNU 2025 : Haram Kepemilikan Laut Atas Nama Pribadi Maupun Korporasi

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) 2025 memutuskan bahwa kepemilikan laut atas nama individu atau pun korporasi hukumnya haram. 

Bacaan Lainnya

Keputusan tersebut diambil berdasarkan kajian dalam Munas, yang merupakan forum tertinggi setelah Muktamar NU.
“Laut tidak bisa dimiliki baik oleh individu maupun korporasi,” kata Ketua Sidang Komisi Waqi’iyah Munas KH. Cholil Nafis, dalam jumpa pers di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis malam, 6 Februari 2025.

Ia juga menegaskan bahwa laut, sebagai sumber daya alam yang sangat vital bagi kehidupan manusia dan ekosistem, tidak bisa dijadikan hak milik secara penuh.

“Laut tidak bisa dikapling atau dimiliki oleh individu atau korporasi, baik dalam konteks hak milik pribadi maupun hukum. Ini adalah posisi yang jelas dari Munas Alim Ulama NU,” ungkap Kyai Cholil.

Keputusan tersebut merujuk pada pandangan NU, yang menilai bahwa negara tidak seharusnya memberikan sertifikat kepemilikan laut atau Hak Guna Bangunan (HGB) kepada pihak manapun. Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan pentingnya pelestarian ekosistem laut serta keberlanjutan sumber daya alam yang ada di dalamnya.

Kyai Cholil juga menjelaskan bahwa, meskipun laut tidak bisa dimiliki, laut tetap bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.

“Sebagai contoh, kita melihat di Kepulauan Seribu, Jakarta, ada tambak ikan bandeng yang memanfaatkan laut untuk budidaya ikan. Itu adalah bentuk pemanfaatan laut yang diperbolehkan, asalkan tidak merusak ekosistemnya,” tambahnya.

Kendati laut bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, Kyai Cholil menegaskan bahwa hak kepemilikan penuh tetap tidak diperbolehkan. Negara, menurutnya, hanya dapat memberikan izin untuk pemanfaatan laut dengan syarat bahwa kegiatan tersebut tidak merugikan masyarakat atau lingkungan.

“Negara tidak boleh menerbitkan sertifikat kepemilikan laut, baik individu maupun korporasi,” ucap Rais Syuriyah PBNU itu.

Hal senada juga disampaikan oleh KH. Mahbub Ma’afi, Sekretaris Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah. Dia menegaskan bahwa konsep kepemilikan atas laut bertentangan dengan prinsip-prinsip pelestarian alam dan keberlanjutan ekosistem.

“Laut adalah bagian dari ekosistem global yang harus dijaga. Negara tidak boleh menerbitkan sertifikat kepemilikan atas laut, karena ini dapat merusak keseimbangan alam,” ujarnya.

Kyai Mahbub juga mengingatkan bahwa konsep “ihyaul mawat” yang diterapkan pada tanah tak bertuan, yang memungkinkan individu atau entitas mengklaimnya, tidak dapat diterapkan pada laut.

“Laut bukanlah wilayah yang bisa diolah seperti tanah kosong. Tidak ada ihya’ul mawat dalam laut,” tegasnya.

Keputusan ini sejalan dengan komitmen NU untuk mendukung pelestarian alam dan memastikan bahwa sumber daya laut tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepemilikan pribadi atau korporasi.

Keputusan ini diterbitkan merespons fenomena yang banyak terungkap belakangan ini, di mana perairan di beberapa wilayah kedapatan memiliki sertifikat atas nama pribadi maupun koperasi. Beberapa wilayah yang lautnya dikapling itu antara lain ada di Kabupaten Tangerang, Banten; Kabupaten Bekasi, Jawa Barat; hingga Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Bahkan, wilayah yang disertifikat ini sampai dipasang pagar. ***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *