“Ingat! Mustasyar bukanlah institusi atau pihak yang memiliki wewenang (otoritas) eksekutif atau pun legeslatif di tubuh organisasi NU.”
Oleh KH Abdul Muhaimin
DALAM rangka menjaga konstitusi organisasi NU ( AD/ART NU ) serta menjaga marwah lembaga NU, diharapkan Rais Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar dan jajaran syuriyah NU dapat tetap berpegang teguh pada ketentuan organisasi dan tidak terpengaruh oleh berbagai tekanan, ancaman atau ultimatum dari pihak-pihak yang tidak memiliki otiritas struktural sebagaimana diatur dalam peraturan NU.
Hal ini sejalan dengan kaidah fiqih
” dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih “, yang menegaskan bahwa mencegah terjadinya kerusakan, termasuk potensi pelanggaran atau pelemahan AD/ART dan reduksi marwah oraganisasi NU, harus didahulukan daripada upaya meraih kemaslahatan yang berisiko menimbulkan mudharat.
Dalam ikhtiar mencari jalan keluar atas dinamika di PBNU termasuk melalui Ishlah perlu dilakukan dengan cara – cara yang tidak bertentangan dengan AD/ ART dan Perkum sebagai pijakan utama aturan organisasi.
Istilah “Musyawarah Kubro” yang diselenggarakan di Ponpes Lirboyo tidak memiliki dasar konstitusional. Dalam Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama Pasal 22, forum permusyawaratan yang sah dan diakui secara organisasi hanyalah Muktamar, Muktamar Luar Biasa, Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar. Tidak terdapat istilah maupun forum bernama “Musyawarah Kubro”.
Sementara Pasal 27 AD NU hanya mengenal jenis rapat: Rapat Kerja, Rapat Pleno, Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah, serta rapat lain yang dianggap perlu tanpa kewenangan mengambil keputusan setingkat Muktamar. Dengan demikian, hasil Musyawarah Kubro tidak dapat dikategorikan sebagai keputusan permusyawaratan resmi jam’iyyah.
Selain istilah Musyawarah Kubro yang tidak ada landasan hukumnya, pihak pengundang yaitu mustasyar tidak memiliki kewenangan untuk mengundang seluruh fungsionaris NU, dari PBNU, PWNU sampai PCNU.
Kata “mustasyar” berarti penasehat atau penasihat khusus. Dalam konteks organisasi Nahdlatul Ulama (NU), mustasyar adalah penasehat pengurus NU, baik di tingkat pusat (PBNU) maupun daerah (PCNU). Anggotanya biasanya adalah para ulama atau tokoh yang telah memberikan dedikasi dan loyalitas kepada NU, dan bertugas memberikan nasihat, panduan, serta masukan terkait kebijakan dan kegiatan organisasi.
Secara umum, batasan tugas dan wewenang mustasyar atau penasehat ditetapkan dalam peraturan yang berlaku di organisasi NU ( AD NU Pasal 17 ). Tujuan dari batasan ini adalah untuk memastikan bahwa mustasyar atau penasehat bekerja sesuai dengan tugas dan fungsi yang diberikan, serta untuk menghindari konflik kepentingan atau penyalahgunaan wewenang.
Mustasyar atau penasehat bukanlah institusi atau pihak yang memiliki wewenang (otoritas) eksekutif atau pun legeslatif di tubuh organisasi NU. Wewenang mereka sebatas memberi nasehat saja. Dan setelah mereka melaksanakan tugas memberikan nasehat, diminta atau tidak diminta, maka sudah gugurlah kewajiban dan tugasnya. Hanya sebatas itu.
Mustasyar atau penasehat tidak memiliki wewenang untuk memaksakan nasehatnya untuk dikuti dan dilaksanakan. Apalagi memaksakan kehendak dengan ancaman segala. Bila itu terjadi, maka mustasyar telah bertindak jauh melampaui kewenangannya atau melampaui batasannya. Dan hal ini menjadi preseden yang sangat buruk bagi jam’iyah NU.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa PBNU sudah melaksanakan Rapat Pleno pada tanggal 9 Desember 2025 yang lalu. Bahwa keputusan organisasi sudah diambil dalam forum yang diatur oleh konstitusi NU, maka keputusan jam’iyah NU yang resmi, sah, prosedural dan legitimed haruslah diikuti dan dipatuhi oleh seluruh pengurus dan warga NU.
Dan dalam Rapat Pleno PBNU yang diselenggarakan di Hotel Sultan tersebut juga dihadiri oleh para pejabat pemerintah, misalkan seperti Menteri Agama RI, Menteri Sosial RI dan Gubernur Jawa Timur. Hal ini menunjukkan bahwa legalitas dari Rapat Pleno PBNU tersebut diakui oleh pemerintah. Sebab mana mungkin pejabat pemerintah atau anggota kabinet akan menghadiri kegiatan yang ilegal.
Dengan demikian bahwa apa yang telah diputuskan dalam Rapat Pleno PBNU dua minggu lalu adalah keputusan organisasi yang legal, mengikat dan harus dipatuhi dan dilaksanakan bersama.
Sedangkan berbagai nasehat, saran, rekomendasi dan masukan dari warga NU dari berbagai forum non struktural NU atau forum kultural NU tetap dihormati sebagai aspirasi warga NU sebagai bagian dari dinamika demokrasi di dalam tubuh jam’iyah NU.(*)
(KH. Abdul Muhaimin adalah Pengasuh pondok pesantren Nurul Ummahat, Prenggan, Kotagede, Yogyakarta, A’wan PBNU)
Sumber : duta







