Oleh: Muhammad Saad
Dengan segala daya upaya, umat Islam berusaha untuk mendapatkan pemimpin yang adil. Namun Seandainya nanti diberikan oleh Allah pemimpin yang dholim, ini bukan berarti umat Islam harus menyerah apalagi bersu’udhzon kepada Allah. Tentunya banyak hal yang menjadi bahan renungan dan muhasabah, kenapa Allah memberikan pemimpin dholim tersebut.
Pertama, umat Islam diuji oleh Allah untuk bersikap sabar secara kolektif ketika menghadapi pemimpin yang penuh dengan kediktatoran. Sabar seorang muslim ialah beruasaha menyampaikan dakwah kepada mereka, meskipun resikonya tidak besar harus dihadapi. Namun hal ini jika dilakukan dan wajib dilakukan, akan mendapatkan pahala yang besar di sisih Allah, serta dianggap oleh Allah sebagai paling utamanya jihad. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh
Rasulullah Saw dalam sebuah hadits:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.”
Keutamaan amalan tersebut karena besarnya ancaman yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Abu Hasan As-Sindi, “Ia merupakan jihad yang jarang sekali pelakunya selamat ketika melaksanakannya. Sedikit orang yang membenarkannya. Bahkan, semua orang menyalahkan tindakannya sejak awal, lalu menyebabkan kepada kematiannya dengan cara yang paling kejam, tanpa adanya peperangan, namun ia tetap sabar.” (Hasyiyah As-Sindi ‘Ala Nasa’i, 7/161)
Begitulah, yang demikian itu telah dilakukan oleh para ulama’ salafuna Assholih. Meskipun resiko harus masuk penjara bahkan dipersekusi serta disiksa dengan siksaan yang kejam. Namun demi kebenaran dan kemaslahatan umat, mereka para salfuna Assholih tetap menyampaikannya.
Adalah imam Malik bin Anas, demi menyampaikan satu hadits tentang “tidak ada talak bagi orang yang dipaksa”. Begitu pula Imam Syafi’i, karena cintanya dan pembelaanya kepada Ahlul bayt sampai beliau dituduh sebagai penganut Syi’ah. Hingga pada akhirnya, beliau harus menerima hukuman dari penguasa berupa diikat dengan rantai besi, kemudian disuruh berjalan Yaman hingga Raqqah. Tak luput dari siksa penguasa, adalah Imam Hambali, imam Bukhri samapai pada imam An-Nawawi al-Dimasyqi, semuanya pernah merasakan, demi menegakkan Islam di sisih penguasa.
Yang kedua, seharusnya kita benar-benar muhasabah, kenapa kaum muslimin di Indonesia dari tahun-ke tahun belum diperikan oleh Allah pemimpin yang adil. Meskipun reformasi telah dilakukan, namun semakin kedepan, kita diberikan pempimpin semakin dholim dan diktator.
Ada sebuah ayat dalam surat al-an’am 129 yang berbunyi:
وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.
Imam Fakhruddin al-Razzi berkata Tafsirnya:
المسألة الثانية الاية تدل على ان الرعية متى كانو ظالمين فالله تعالى يسلط ظالما، فان أرادوا أن يتخلصوا من ذالك الامير الظالم فليتركوا الظلم. وعن مالك بن دينار. جاء في بعض كتب الله تعالى. انا لله مالك الملوك قلوب الملوك ونواصيها بيدي فمن اطاعني جعلتهم عليه رحمة ومن عصاني جعلتهم عليه نقمة لاتشغلوا انفسكم بسب الملوك لكن توبوا اليّ أُعَطِّفهم عليكم
Masalah kedua, ayat diatas menunjukkan bahwa apabila rakyat melakukan kedhaliman, maka Allah akan mengangkat seseorang yang dhzalim sebagai penguasa. Sehingga apabila mereka ingin melepaskan diri dari pemimpin yang dzhalim tersebut, hendaknya mereka meninggalkan perbuatan dzhalim. Diriwayatkan oleh Malik bin Dinar : “dalam sebagaian kitab-kitab Allah, Allah berfirman : “Akulah Allah, penguasa raja-raja di dunia. Hati dan ubun-ubun mereka berada dalam kekuasaan-Ku. Barang siapa yang taat kepada Ku, akan aku jadikan raja-raja sebagai rahmat baginya. Dan barang siapa yang durhaka kepada-Ku, aku jadikan raja-raja itu sebagai adzab atas mereka. Janganlah kalian menyibukkan diri dengan memaki-maki para penguasa karena kedhzaliman. Akan tetapi bertaubatlah kalian kepada-Ku, maka akan Aku jadikan mereka mengasihi kalian.
Jadi, perlulah kita insafi, bahwa kepemimpinan penguasa yang dhzalim di negri kita tercinta ini, adalah tidak lepas dari prliaku kita yang senantiasa maksiat dan kedholiman yang kita perbuat sendiri. Faktnya, sebagai negara yang mayoritas muslim, justru kemaksiatan merajalela. Ironisnya, ketika ada sekelompok kecil umat Islam yang ingin mengingatkan dengan ber-amar makruf dan Nahi Mungkar, justru ditentang dengan penentangan sekala besar, bahkan sampai menyewa tangan kekuasan. Inilah yang kemudian menjadikan Allah murka, kemudian memberikan “hadiah” kepada kita berupa pemimpin “bertangan besi”.
Menurut imam Ghazali, dalam kitab ihya’ ulumuddin. Justru kerusakan penguasa disebabkan karena kerusakan ulama’nya, yang menyebabkan pula kerusakan rakayatnya.
“Kerusakan rakyat itu karena kerusakan penguasa. Rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ulama. Rusaknya para ulama itu karena kecintaan pada harta dan kedudukan. Siapa saja yang terpedaya oleh kecintaan terhadap dunia tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil. Lalu bagaimana pula dia hendak melakukan pengawasan terhadap penguasa dan perkara besar?” (Al-Ghazali, Al-Ihyâ’, 2/357).
Pendapat Imam al-Ghazali tidak bertentangan dengan pendapat Imam Fakhruddin al-Razzi. Justru dari kedua pendapat tersebut bisa diambil sebuah kesimpulan, bahwa kerusakan penguasa dan pemimpin ini bersumber dari kerusakan orang alimnya.
Menurut Ahmad Kholili Hasib M. Ud Praktisi pendidikan mengatakan bahwa “Imam al-Ghazali melihat, problem itu bermuara dari krisis keilmuan. Oleh sebab itu, kritik Imam al-Ghazali ditujukan kepada para ‘ulama duniawi’ terlebih dahulu sebagai pengemban ilmu. Kesalahan ilmu telah membuat krisis ilmu yang berujung kepada lemahnya umat dan umara (rakyat dan pemerintah)”.
Masih menurut beliau tentang pernyataan Imam Ghazali, “Krisis penguasa sebenarnya berakar dari krisis ilmu dan ulama. Jika kita mendapatkan pemimpin dzalim yang tidak sesuai harapan, maka kita harus melihatnya secara mendalam. Ada apa dibalik itu? Jika masyarakat lebih menyukai pemimpin yang buruk, maka memang karena umat sedang mengalami krisis. Kenapa? Karena gagalnya pendidikan Islam”.
Sebagai bahan renungan, apa yang disampaikan oleh Imam Fakhruddin al-Razi dengan Imam al-Ghazali bisa kita jadkan pertimbangan masa depan agar mendapatkan pemimpin yang adil dan amanah. Semua perubahan itu diawali dari diri masing-masing. Terlebih-lebih bagi pribadi pendakwah, mari koreksi pribadi, apakah sudah ikhlas berdakwah menyampaikan ilmu, ataukah masih berkutat pada kubangan hubbuddunya yang menghatarkan pada kerusakan pada pada penguasa. Wallahu a’lam.