Syekh Jumadil Kubro, Punjer Walisongo Keturunan Rasulullah Saw.
______________________________________
Sudah menjadi kesepakatan, bahwa para penyebar agama Islam di Tanah Jawa adalah para ulama yang disebut dengan “Walisongo”.
Dengan demikian siapakah yang tidak mengenalnya? Bukankah kita sudah sering kali mendengar istilah Walisongo? Namun apakah sebenarnya makna Walisongo itu sendiri? Siapakah tokoh awal dalam lingkup Walisongo ini?
Bagi mayoritas muslim Indonesia, istilah Walisongo sering dikaitkan dengan keberadaan tokoh-tokoh keramat di Jawa yang berperan penting dalam usaha penyebaran dan perkembangan Islam pada abad ke-15 dan 16 Masehi.
Menurut Solichin Salam dalam buku Sekitar Walisogo, kata Walisongo merupakan kata majemuk yang berasal dari kata wali dan songo.
Kata wali berasal dari bahasa Arab, suatu bentuk singkatan dari waliyullah, yang berarti ‘orang yang mencintai dan dicintai Allah SWT’. Sedangkan kata songo berasal dari bahasa Jawa yang berarti ‘sembilan’. Jadi, Walisongo berarti ‘wali sembilan’, yakni ‘sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah SWT’.
Mereka dianggap kekasih Allah SWT, orang-orang yang terdekat dengan Allah SWT, yang dikaruniai tenaga ghaib, mempunyai kekuatan-kekuatan bathin yang sangat berlebih, mempunyai ilmu yang sangat tinggi dan sakti berjaya kewijayaan.
Menurut Prof. K.H.R. Moh. Adnan berpendapat bahwa kata songo merupakan perubahan atau kerancuan dari pengucapan kata sana, yang dipungut dari kata Arab tsana (mulia) yang searti dengan kata Mahmud (terpuji), sehingga pengucapan yang betul adalah Wali Sana yang berarti ‘wali-wali yang terpuji’.
Akan tetapi, pendapat tersebut tidak disepakati oleh Amen Budiman, yang dalam buku berjudul Wali Sanga Antara Legenda dan Fakta Sejarah (1982) menegaskan bahwa kata Wali Songo bermakna ‘wali sembilan’.
K.H. Hasyim Asy’ari menerangkan bahwa Wali Allah ialah orang yang dijaga oleh Allah SWT dari perbuatan dosa besar maupun dosa kecil, dijaga dari melepaskan hawa nafsunya sekalipun sekejap. Dan kalaupun berbuat dosa, dia segera bertaubat kepada Allah SWT, juga orang yang pengabdiannya terus menerus tanpa disela sesuatu (istiqamah).
Menurut Hasanu Simon dalam bukunya, Walisongo terdiri dari enam periode yang bertugas secara berturut-turut. Jika salah satu anggota Walisongo ada yang kembali ke negara asalnya atau telah wafat, maka anggota Walisongo lainnya harus mencari seorang ulama lain untuk dijadikan penggantinya. Walisongo periode pertama antara lain Syekh Jumadil Kubro, Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana Muhammad al Maghribi, Maulana Malik Isro’il, Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Syekh Jumadil Kubro merupakan punjer dari Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa. Meskipun tidak semua, namun sebagian besar anggota Walisongo adalah keturunan Syekh Jumadil Kubro. Terdapat perbedaan penyebutan nama untuk Syekh Jumadil Kubro.
Menurut Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat menyebutkan nama Jumadil Kabir merupakan hasil dari perubahan nama Jumadil Kubro, seperti Jumadil Akbar menjadi Jumadil Makbur. Martin percaya bahwa nama yang asli adalah Jumadil Kubro. Namun, nama tersebut dirasa cukup aneh karena melanggar tatanan bahasa Arab.
Kubro dalam bahasa Arab merupakan kata sifat dalam bentuk mu’annas dan yang paling sesuai untuk menyebutkan nama seorang laki-laki adalah Akbar untuk bentuk kata mudzakkar. Nama asli beliau adalah Syeikh Jamaluddin al-Husain al-Akbar, lahir pada tahun 1349 M di sebuah desa di daerah Samarkand dekat Bukhara. Samarkand dan Bukhara merupakan kota dari Uzbekistan (wilayah Asia Tengah) yang menjadi pusat keilmuan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah, banyak Ulama yang berpengaruh dalam dunia keilmuan Islam, salah satunya adalah Syekh Jumadil Kubro ini. Kota tersebut pernah berjaya pada masanya sebelum invasi bangsa Mongol yang terjadi pada abad ke 13 M.
Syekh Jumadil Kubro disebutkan memiliki garis keturunan langsung dari Rasulullah Muhammad Saw., menurut Moch Cholil Nasiruddin dalam Punjer Wali Songo Sejarah Sayyid Jumadil Kubro menyebutkan garis keturunan tersebut dari Syekh Jumadil Kubro yaitu Sayyid Hussein Jumadil Kubro bin Sayyid Zainul Khusen bin Sayyid Zainul Kubro bin Sayyid Zainul Alam bin Sayyid Zainal Abidin bin Sayyid Husain bin Ali/Siti Fatimah binti Rosulullah Muhammad Saw.
Rizem Aizid dalam Sejarah Islam Nusantara menyebutkan silsilah Syekh Jumadil Kubro adalah Syekh Jumadil Kubro bin Husain Jamaluddin bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali/Sayyidah Fatimah binti Muhammad Saw. Pendapat kedua memang lebih rinci. Namun intinya, tidak ada perbedaan bahwa Syekh Jumadil Kubro merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. Wallahu A’lam.
Syekh Jumadil Kubro tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayahnya. Syekh Jumadil Kubro juga dibesarkan dan mendapat berbagai macam ilmu agama dari ayahnya sendiri yang bernama Sayyid Zainul Khusen. Setelah dewasa Syekh Jumadil Kubro pergi ke India tempat kakeknya berada. Disana Syekh Jumadil Kubro belajar dengan beberapa ulama yang terkenal. Ilmu seperti tasawuf, syariat dan keilmuan lainnya telah beliau pelajari. Tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu tersebut, Syekh Jumadil Kubro juga melanjutkan perjalanannya ke Makkah dan Madinah untuk mempelajari berbagai macam keilmuan termasuk mendalami ilmu Islam. Namun, tidak disebutkan siapa saja para ulama yang menjadi guru beliau ketika berada di Makkah dan Madinah.
Husnu Mufid menyebutkan bahwa setelah belajar dari Makkah dan Madinah, Syekh Jumadil Kubro melanjutkan perjalanannya ke wilayah Maghribi, namun perjalanan kali ini berbeda karena ia melakukan perjalanan dakwah untuk pertama kalinya. Tidak lama setelah itu Syekh Jumadil Kubro menikah dengan seorang putri bangsawan Uzbekistan. Dari pernikahan tersebut, maka lahirlah ketiga putranya yakni:
🔹Ibrahim Zainuddin al-Akbar as-Samarqondi atau yang lebih dikenal dengan Ibrahim Asmoroqondi.
🔹Maulana Ishaq, dan
🔹Maulana Malik Ibrahim
Seperti halnya para pedagang asing yang berlayar ke berbagai negara untuk menawarkan dagangannya, begitu pula Syekh Jumadil Kubro melakukan perjalanan menuju Kamboja untuk mengislamkan raja Champa sekaligus membawa barang dagangannya.
Syekh Jumadil Kubro berada di Champa bersama dengan anaknya yaitu Sayyid Ibrahim. Setelah raja Champa tersebut berhasil diislamkan maka Syekh Jumadil Kubro menikahkan Sayyid Ibrahim dengan putri Raja Champa bernama Dewi Candrawulan. Dari pernikahan tersebut Sayyid Ibrahim dikaruniai dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah (kelak dikenal dengan sebutan Sunan Ampel) dan Sayyid Ali Murtadho. Pengislaman Raja Champa merupakan prestasi yang sangat besar mengingat mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu dan Buddha.
Tidak banyak sumber yang menceritakan perjalanan Syekh Jumadil Kubro di tanah Jawa.
Menurut Husnu Mufid, setelah dari Champa dan tinggal beberapa saat di Jeumpa Aceh, Syekh Jumadil Kubro menuju tanah Jawa melalui Semarang dan singgah terlebih dahulu di Demak sebelum melanjutkan perjalanannya ke kerajaan Majapahit.
Terdapat beberapa pendapat yang menyebutkan awal mula Syekh Jumadil Kubro tiba di pulau Jawa dengan maksud memperdagangkan barang-barang dagangannya kepada para bangsawan kerajaan sekaligus mendakwahkan agama Islam. Pada awal kedatangan Syekh Jumadil Kubro ke tanah Jawa, penyebaran Islam sangat sulit dilakukan.
Mendakwahkan ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi juga telah dilakukan, namun hasil yang didapat juga tidak memungkinkan. Setelah melihat kondisi masyarakat yang kuat sekali dengan pengaruh Hindu Budha, maka beliau merasa akan semakin sulit jika mendakwahkan Islam seorang diri. Kemudian Syekh Jumadil Kubro menuju ke kerajaan Turki Utsmani. Maksud kedatangannya ke Turki adalah untuk meminta bantuan kepada Sultan Turki Muhammad I (Mehmed Çelebi) 1403-1421 M untuk mengirimkan para ulama ke tanah Jawa. Lalu pada tahun1404 M (808 H) Sultan mengirim surat kepada para pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah dengan maksud untuk meminta sejumlah ulama yang memiliki karomah agar diberangkatkan ke Pulau Jawa. Setelah itu dikirimlah ulama-ulama yang disebutkan sebagai Walisongo periode pertama secara berkala.
Menurut Babad Cirebon, tokoh Syekh Jumadil Kubro dianggap sebagai leluhur Sunan Gunung Jati dan wali-wali lain seperti Sunan Bonang, Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga.
Sedangkan menurut Kronika Gresik, Syekh Jumadil Kubro memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel dan tinggal di Gresik. Putra Syekh Jumadil Kubro yang bernama Maulana Ishaq dikirim ke Blambangan untuk melakukan islamisasi di sana. Maulana Ishaq adalah ayah dari Sunan Giri. Jadi, Syekh Jumadil Kubro, menurut versi ini adalah kakek dari Sunan Giri.
Sedangkan Babad Tanah Jawi menuturkan bahwa Syekh Jumadil Kubro adalah sepupu Sunan Ampel yang hidup sebagai petapa di sebuah hutan dekat Gresik. Keberadaan Syekh Jumadil Kubro sebagai seorang petapa, didapati pula dalam cerita tutur bersifat legendaris yang tersebar di sekitar lereng Gunung Merapi di utara Yogyakarta. Dalam cerita ini, Syekh Jumadil Kubro diyakini sebagai wali tertua asal Majapahit yang hidup bertapa di hutan Mer Lerengapi. Syekh Jumadil Kubro dalam legenda itu, diyakini berusia sangat tua sehingga dipercaya menjadi penasihat ruhani Sultan Agung.
Para sejarawan sepakat bahwa Syekh Jumadil Kubro adalah ulama awal pra-Wali songo bahkan menurut Babad Cirebon merupakan buyut dari semua wali songo. Oleh karenanya sangatlah tepat jika kita meletakkan Syekh Jumadil Kubro sebagai peletak dakwah Islamisasi di jagat Nusantara ini. Syekh Jumadil Kubro adalah peletak model pendidikan Islam sebagai transformasi nilai kepada masyarakat Jawa khususnya Majapahit.
Referensi:
Aizid, Rizem. 2016. Sejarah Islam Nusantara. Yogyakarta: Diva Press.
Bruinessen, Martin Van. 1999. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Husnu Mufid dan Ahmad Suparta Al Bantani. 2019. Keluarga Besar Sunan Ampel &Syekh Jumadil Qubro, Syekh Ibrahim Asmorokondi, Syekh Ali Murtadlodari Kerajaan Campa Menuju Kerajaan Majapahit. Surabaya: Menara Madinah.
Mukarrom, Ahwan. 2014. Sejarah Islam Indonesia 1. Surabaya: UINSA Press.
Nasiruddin, Cholil. 2004. Sejarah Sayyid Jumadil Kubro. Jombang: SEMMA.
Nasiruddin, Moch Cholil. 2004. Punjer Wali Songo Sejarah Sayyid Jumadil Kubro. Jombang: SEMMA.
Sunyoto, Agus. 2012. Atlas Walisongo. Depok: Pustaka IIMaN.
Syamsuddin, Zainal Abidin. 2018. Fakta Baru Walisongo. Jakarta: Pustaka Imam Bonjol.
Sumber : mahadalyjakarta