Hari ini, banyak yang mengaku sebagai penerus Walisongo.
Mereka tampil di podium-podium ceramah, diundang TV, diberi ruang luas atas nama “toleransi,” “pluralisme,” dan “Islam Nusantara.” Tapi anehnya, dari lisan mereka, yang justru keluar adalah racun kebencian terhadap sesama Muslim, dan yang paling sering jadi sasaran: nasab.
Ya, mereka paling getol menyerang habib, mencemooh garis keturunan Rasulullah, dan menyemai kalimat rasis seperti:
“Arab bukan Islam!”
“Pulang sana ke Yaman!”
“Jangan bawa-bawa nasab ke Indonesia!”
Sekarang pertanyaannya:
Apakah kelompok mereka pernah memualafkan non-Muslim?
Apakah mereka pernah mengajak kaum muslimin untuk solat berjamaah dimasjid ?
Pernahkah mereka turun ke jalan membela Islam saat dihina?
Pernahkah mereka menyatukan umat atau malah justru menjadi biang perpecahan?
Setiap panggung mereka bukan untuk dakwah, tapi untuk mencaci.
Setiap forum mereka bukan untuk menyatukan hati umat, tapi untuk menyulut api kebencian sesama Muslim antara pribumi dengan non pribumi.
Habib diserang, ulama diwahabikan, mujahid dituduh radikal dan semua dibungkus dengan label “Islam moderat.”
Padahal dulu, Walisongo berdakwah untuk memualafkan, bukan mengkafirkan.
Mereka datang bukan untuk membubarkan umat Islam, tapi untuk menghimpun dan menyatukan kekuatan umat yang tercerai-berai.
Coba lihat sejarah:
Sebelum Walisongo, Islam terpecah dalam kelompok-kelompok kecil di Nusantara.
Masih ada pengaruh Hindu-Buddha yang kental, masih ada kebingungan antara syirik dan tauhid.
Apalagi setelah Perang Paregreg perang saudara berlarut larut antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana kerajaan Majapahit hancur, rakyat kacau, ekenomi anjlok.
Di tengah kehancuran itulah Walisongo hadir sebagai pelita.
Mereka membangun Islam bukan dari seremonial, tapi dari akar akidah.
Mereka bukan cuma mengajarkan cara wudhu dan shalat, mereka juga membawa solusi ekonomi bagi umat, tapi juga menegakkan hukum Allah dan sistem Islam di tanah Jawa.
Bukan lewat seminar, bukan lewat siaran TV, tapi lewat revolusi sosial yang total.
ketika ada yang menyerukan penegakan hukum Allah, mereka menuduh: radikal! Padahal, “kalau mau negakan syariat tolong pulang ke Arab sana”
mari kita simak sendiri apa wasiat Walisongo dalam naskah kuno yang sahih, Kropak Ferrara, lembar 12a:
“Sang ratu puniko dene anrapaken ukumullah.
Dosane tan anglakokan sak pakeme aksarane, angowahi sapangandikaning Allah tangala,
kang tinimbalaken dawuhing Kangjeng Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam.”
Artinya:
“Seorang raja wajib menerapkan hukum Allah.
Berdosa manakala perlakuan dan tutur katanya menyelisihi firman Allah ta’ala dan sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.”
Itu bukan dari Arab. Itu dari Jawa. Itu suara Walisongo.
Kalau hari ini ada orang yang berkata “jangan bawa-bawa syariat ke Indonesia,” jelas dia bukan penerus Walisongo. Mungkin dia justru pewaris pemikiran penjajah yang ingin Islam cukup jadi adat dan lagu-lagu, bukan jadi sistem hidup dan hukum negara.
Anda lupa Walisongo pernah berjihad melawn Portugis di Malaka, anda lupa Walisongo pernah berjihad melawan sisa pasukan Majapahit hingga Syahidnya Sunan Ngudung.
Anda lupa bahwa Kesultanan Demak memakai hukum Islam, dimana pencuri dipotong tangan, pembegal disalib, semua tertuang dalam angger angger Surya Alam, kitab Hukum Kesultanan Demak.
Walisongo itu bukan budayawan. Mereka mujahid.
Dan yang melanjutkan perjuangan mereka hari ini, adalah mereka yang menuntut tegaknya syariat, bukan yang melarikan Islam dari politik dan hukum. Kelak hal ini perjuangan mereka diwariskan oleh Nadhalatul Ulama, Muhammadiyyah, Persis, al-Irsyad dalam BPUPKI dan konstituante untuk menghidupkan kembali Piagam Djakarta.
Sumber : https://www.facebook.com/share/p/1ASUinJGeQ/ ( FB ngopidyah )