Bolehkah Ulama Menerima Zakat Maal ??

BOLEHKAH ULAMA MENERIMA ZAKAT MAAL ?

Oleh KH. Luthfi Bashori

Seringkali masyarakat bertanya, apakah seorang Kyai atau Ustadz itu boleh menerima zakat maal ? Apakah Kyai atau Ustadz yang boleh menerima zakat maal itu harus fakir atau miskin, bagaimana jika beliau itu hidupnya berkecukupan ?

Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, tentu perlu memperhatikan beberapa pendapat para ulama terkait masalah ini.

Termasuk yang perlu dibahas adalah, adanya dua kriteria ulama yang perlu dipahami:

1. Ulama yang totalitas hidupnya untuk mengurusi agama, mendidik murid, mengajar santri, berdakwah di tengah masyarakat, hingga waktunya hampir 24 jam, harta miliknya dan kesempatan hidupnya, habis hanya untuk mengurusi umat.
2. Ulama yang merangkap sebagai pekerja mencari ma’isyah/nafkah, semisal pagi-sore untuk bekerja, bahkan hingga bisa menjadi kaya raya yang wajib mengeluarkan zakat maal. Sedangkan  pada waktu malam hari, dipergunakan untuk menyampaikan dan mengajarkan ilmu agama.

Dalam salah satu tulisan Syaikh Muhammad Ali Asshabuni disebutkan tentang tafsir ayat:

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah (termasuk ulama yang menyebarkan ilmu agama); mereka tidak dapat (bekerja mencari uang) di muka bumi (karena waktunya habis untuk berdakwah); orang (lain) yang tidak tahu, menyangka mereka (ulama itu) orang kaya (punya rumah/mobil, padahal belum tentu mereka beli sendiri, namun ada kemungkinan mendapat hadiah/sumbangan dari jama’ahnya) karena mereka (ulama itu) memelihara diri dari minta-minta (mereka tidak mengemis). Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang lain secara mendesak (kecuali hanya lewat sindiran). Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. (Tafsir  Surat Al Baqarah ayat 273).

Termasuk disebutkan dalam tafsir Al Muyassar :

اجعلوا صدقاتكم لفقراء المسلمين (من العلماء) الذين لا يستطيعون السفر طلبًا للرزق لاشتغالهم بالجهاد في سبيل الله، يظنهم مَن لا يعرفهم غير محتاجين إلى الصدقة؛ لتعففهم عن السؤال، تعرفهم بعلاماتهم وآثار الحاجة فيهم، لا يسألون الناس بالكُليَّة، وإن سألوا اضطرارًا لم يُلِحُّوا في السؤال. وما تنفقوا مِن مال في سبيل الله فلا يخفى على الله شيء منه، وسيجزي عليه أوفر الجزاء وأتمَّه يوم القيامة.

Berikanlah sedekah/zakat maal-mu kepada orang-orang muslim yang miskin (ulama) yang tidak mampu melakukan perjalanan (bekerja) untuk mencari penghidupan (nafkah, karena sibuk berjihad di jalan Allah (mengajar/berdakwah). Orang-orang lain yang yang tidak mengenal hakikat kehidupan mereka (ulama) mengira bahwa mereka tidak membutuhkan sedekah/nafkah.

Karena mereka tidak mengemis (di jalanan) secara terang-terangan, (tapi) kamu dapat mengetahui tanda-tandanya kebutuhan yang ada pada mereka. Mereka tidak mau meminta-minta kepada orang-orang lain sama sekali, dan jika mereka meminta karena kebutuhan, mereka tidak memaksa untuk mengemis-emis. Dan harta apa pun yang kamu keluarkan karena Allah, niscaya tidak ada satupun yang tersembunyi dari Allah, dan Dia akan membalasmu dengan pahala yang paling besar dan sempurna di hari Qiamat.

Imam Qaffāl mengutip pendapat sebagian ulama ahli fikih:

اَنَّهُمْ أَجَازُوْا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ جَمِيْعَ وُجُوْهِ الخَيْرِ مِنْ تَكْفِيْنِ المَوْتَى وَبِنَاءِ الحُصُوْنِ وَعِمَارَةِ المَسْجِدِ لِأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى “فِى سَبِيْلِ اللهِ” عَامٌ فِى الكُلِّ. (تفسير المنير, 1/344)

“Mereka (sebagian ahli fikih) memperbolehkan memberikan zakat maal kepada semua yang bersifat kebaikan, baik berupa biaya penguburan orang mati, pembagunan benteng, dan pembangunan masjid. Hal ini karena firman Allah dalam teks “fi sabīlillah” berlaku umum dalam segala sesuatu.” (Tafsir munir 1/344).

Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab menyebutkan:

قالوا ولو قدر على كسب يليق بحاله إلا أنه مشتغل بتحصيل بعض العلوم الشرعية بحيث لو أقبل على الكسب لانقطع عن التحصيل حلت له الزكاة لأن تحصيل العلم فرض كفاية (وأما) من لا يتأنى منه التحصيل فلا تحل له الزكاة إذا قدر على الكسب وإن كان مقيما بالمدرسة هذا الذي ذكرناه هو الصحيح المشهور

“Ulama berkata, ‘Apabila seorang mampu mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya, tetapi dia mengurungkan niat untuk bekerja, karena sibuk belajar (mengajar) agama; sebab kalau dia bekerja, dia tidak bisa fokus belajar (mengajar) agama dan tidak bisa mendapatkan (menyebarkan) ilmu agama, maka dibolehkan memberikan zakat kepadanya.

Karena, belajar (mengajar) ilmu agama itu hukumnya fardhu kifayah. Akan tetapi, orang yang tidak sungguh-sungguh belajar (tidak totalitas dalam belajar/mengajar), tidak berhak menerima zakat maal, bila dia mampu untuk bekerja, meskipun dia tinggal di madrasah/pesantren. Ini adalah pendapat yang shahih dan masyhur.”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *