Oleh: Kholili Hasib
Pada bulan Ramadhan ini tahun 2019, di Gereja Kristen Jawi Wetan Pandaan diadakan buka bersama. Tentu saja, maksudnya mengundang umat Muslim berbuka puasa di Gereja ini. Karena orang Kristiani tidak berpuasa Ramadhan. Beberapa orang atas nama organisasi mahasiswa hadir, seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Komisariat Universitas Yudharta Purwosari, GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Komunitas Gusdurian Pasuruan dan beberapa santri PP. Ngalah Sengonagung Purwosari Pasuruan.
Sekedar sebagai informasi bagi saudara yang belum mengenal beberapa nama lembaga atau organisasi tersebut. GMNI merupakan organisasi mahasiswa hasil peleburan tiga organisasi mahasiswa yang berasaskan marhaenisme yang terjadi pada tahun 1953, yaitu: (1) Gerakan Mahasiswa Marhaenis (GMM) Jogjakarta, (2) Gerakan Mahasiswa Merdeka (GMM) Surabaya, dan (3) Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI), Jakarta. Asas perjuangan GMNI ada 4 yaitu; Pancasila, UUD 1945, Marhaenisme dan Pancalogi GMNI.
PMII merupakan wadah organisasi mahasiswa NU, sebagai wadah penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa yang berkultur NU. Ideologi PMII adalah Ahlussunnah wal Jamaah dan Pancasila.
Sementara Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) adalah persekutuan gerja-gerja yang berbasis daerah di Jawa Timur yang dideklarasikan pada 11 Desember 1936 di Mojowarno Jombang. GKJW merupakan kelompok Gereja yang diisiasi oleh orang Belanda. Seorang tokoh bernama C.L Coolen dari Belanda mengatakan bahwa menjadi Kristen tidak perlu melepaskan tradisi dan budaya yang selama ini mewarnai kebudayaannya. Pada masa itu, mereka tetap memakai sarung, kain kebaya, bermain wayang dst.
Adapun inti dari acara buka bersama di Gereja Kristen Jawi Wetan adalah doa bersama dan penyampaian narasi-narasi pesan perdamaian baik dari Gereja maupun dari perwakilan organisasi yang hadir. Atas hal itu, maka perlu kami jelaskan beberapa hal terkait dengan acara tersebut.
Hukum
Pada Bahsul Masail di Muktamar ke- XXX NU tahun 1999 di PP. Lirboyo Kediri Jawa Timur diputuskan hukum doa bersama dengan orang kafir. Pertanyaan pada Bahsul Masail itu adalah: “Bagaimana hukum doa bersama antara berbagai umat beragama yang sering dilakukan di Indonesia?”. Bahsul Masail memutuskan hukumnya TIDAK BOLEH, bertentangan dengan syariah Islam.
Dasar pengambilan hukum tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kitab Hasyiyah Jamal ‘ala Syarhi al-Minhaj jilid 2 halaman 119 (ditulis oleh Syekh Sulaiman al-Jamal (w. 1204 H):
وعبارته: لا يجوز التأمين على دعاء الكافر لأنه غير مقبول لقوله تعالى وما دعآء الكافرين إلا في ضلال
“Dan tidak boleh mengamini doa orang kafir karena doanya tidak diterima sesuai dengan firman Allah Swt: “Dan doa (ibadah) orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka” (QS. Ar-Ra’du: 14).
Kitab Hasyiyah Jamal ‘ala Syarh al-Mihaj ini merupakan catatan pinggir (hasyiyah) dari kitab Fahul Wahhab yang ditulis oleh ulama besar Syekhul Islam Zakaria al-Anshori. Keterangan ini sekedar sebagai catatan bahwa kitab ini memiliki reputasi tinggi dalam pengambilan hukum madzhab Syafi’i.
2. Kitab Al-Bujairimi ‘alal Khatib 4, halaman 235:
قوله (تحريم مؤادة الكافر) أي المحبة والميل بالقلب وأما المخالطة الظاهرية فمكروهة… أما معاشرتهم لدفع ضرر يحصل منهم أوجلب نفع فلا حرمة فيه
“Hukumnya haram mencintai kafir, maksudnya adalah haram adanya rasa suka dan kecenderungan hati kepadanya. Adapun sekedar bergaul secara dzahir hukumnya makruh. Adapun bergaul dengan mereka yang tujuannya untuk mencegah timbulnya ssesuatu bahaya yang tidak diinginkan maka hukumnya boleh”.
Kitab al-Bujairimi ‘alal Khatib ditulis oleh Syeikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi, Mesir (w. 1221 H). Kitab ini juga dikenal dengan Tuhfatul Habib terkenal di kalangan pesantren di Nusantara. Biasanya bahsul masail di pesantren mengandalkan kitab ini karena masalah-masalah yang dibahas dalam kitab ini relatif banyak yang relevan dengan keadaan sekarang.
3. Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 5, halaman 72:
(فرع) في مذاهب العلماء في خروج أهل الذمة للإستسقاء قد ذكرنا أن مذهبنا أنهم يمنعون من الخروج مختلطين بالسلمين ولا يمنعون من الخروج متميزين
“Dalam beberapa pendapat para ulama tentang hukumnya orang kafir dzimmi yang keluar ikut bergabung shalat istisqa’ (shalat minta hujan), sebagaimana telah kami jelaskan, bahwa pendapat madzhab kami menyatakan orang kafir tersebut tidak boleh ikut bergabung dengan orang Muslim dalam doa istisqa. Akan tetapi, diperbolehkan bila tempat mereka disendirikan dengan orang Muslim”.
Kitab al-Majmu’ merupakan salah satu kitab induk madzhab Syafii, merupakan syarah dari kitab Al-Muhadzdzab (ditulis oleh Imam Syirazi). Kitab Majmu’ ditulis oleh imam Nawawi sebagian besarnya dan kemudian diteruskan oleh Taqiyuddin al-Subki. Kitab ini cukup tebal, sebanyak 9 jilid, atau yang dicetak sekarang berjumlah 23 jilid. Kitab ini kondang karena ditulis oleh imam Nawawi, seorang ahli fikih yang terkenal hati-hati dalam menetapkan hukum fikih.
Kembali kepada soal hukum di atas, maka, hukum doa bersama telah diputuskan oleh NU secara resmi tersebut tidak hanya untuk warga NU tetapi untuk umat muslimin secara keseluruhan khususnya muslimin Indonesia. Dasar Bahsul Masail NU telah sesuai dengan fatwa para fuqaha (ahli fikih) khususnya dari madzhab imam Syafi’i.
Jika ditelaah fatwa-fatwa para ulama tersebut, akan bisa disimpulan satu hal, yaitu ternyata mu’amalah dengan orang kafir itu tidak boleh alias haram pada hal-hal ubudiyah (peribadatan). Sedangkan dibolehkan bila dalam medan mu’amalah dunyawiyah.
Itu artinya, persoalan ubudiyah itu persoalan eksklusif tiap-tiap penganut agama. Tidak mungkin campur dan tidak boleh dicampur adukkan. Jika berdoa, maka berdoalah di tempat masing-masing bersama dengan jamaahnya masing-masing.
Kita perhatikan fatwa Imam Nawawi di atas tentang shalat istisqa’. Shalat ini merupakan peribadatan umat Islam. Dalam acara ini saja imam Nawawi memfatwakan bahwa orang kafir tidak boleh bergabung, atau tidak boleh bercampur dengan muslimin. Tempat mereka dan tempat muslimin disendirikan. Padahal itu acaranya orang Islam. Bagaimana bila suatu acara itu di tempat orang kafir? Hukumnya makin jelas, haram.
Demikianlah hukum Islam mengatur ketentuan, agar supaya tidak ada campur dengan orang-orang yang dalam keyakininan muslimin tertolak doanya, karena inkar kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Tentu saja, jika ketentuan ini ditaati akan terasa banyak faidah dan manfaatnya. Tidak ada mudharat (mara bahaya) dalam hukum ini. Apalagi di zaman sekarang ini, hukum seperti ini sangat diperlukan.
Salah satu keperluannya adalah menjaga keyakinan. As-Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir B’alawi dalam kitab Sullam at-Taufiq mengatakan:
يجب على كل مسلم حفظ إسلامه ووصونه عما يفسده ويبطله ويقطعه وهو الردة والعياذ بالله تعالى. وقد كثر في هذا الزمان التساهل في الكلام حتى إنه يخرج من بعضهم ألفاظ تخرجهم عن الإسلام.
“Wajib bagi tiap orang Islam menjaga Islamnya, dan melindunginya dari perkara yang merusak, membatalkan dan memotong agama, yaitu riddah (murtad). Dan pada zaman ini telah banyak terjadi kecerobohan dalam ucapakan hingga keluar dari mereka kalimat yang mengeluarkannya dari agama Islam” (Sullam at-Taufiq, halaman. 17).
Inilah perkara mara bahayanya. Apa yang disebut oleh as-Sayyid Abdullah Ba’alawi sebagai kecerobohan dalam ucapan itu pada zaman modern sekarang salah satunya apa yang disebut pluralisme agama. Yaitu faham menyamakan agama-agama.
Pluralisme
Faham pluralism ini bukanlah toleransi. Ia adalah ideologi yang konon tercetus oleh teologi Kristen Inggris bernama John Hick. Hick mengatakan bahwa doktrin pluralisme mengajarkan bahwa agama-agama besar di dunia adalah penampilan-penampilan atau penampakan yang beragam dari satu Hakekat Ultima yang Tunggal. Secara sederhana dapat dikatakan, Tuhan semua agama itu sama dan satu, tapi itu direspon atau dipersepsi secara berbeda-beda oleh tiap agama. Tidak ada yang salah dalam respon dan persepsi tersebut (lihat John Hick Tuhan Punya Banyak Nama, hal. 106 dan Anis Malik Thoha Tren Pluralisme Agama, bab I).
Penganjur pluralisme dan sosiolog asal Amerika Serikat, Diana L. Eck, sendiri mengatakan bahwa “pluralism is just not tolerance” (pluralisme itu bukan sekadar toleransi). Bahkan Diana dalam tulisannya From Diversity to Pluralism menyindir bahwa toleransi dalam pluralisme itu merupakan ‘kebaikan’ yang menipu (but tolerance by itserf my be a deceptive virtue). Dengan demikian, anggapan bahwa pluralisme itu toleransi atau keragaman belaka, merupakan anggapan tidak tepat.
Dr. Anis Malik Thoha, pakar pluralisme, mengatakan bahwa karakter pluralisme itu ada lima; yaitu, mengajarkan kesetaraan atau persamaan (equality), liberalisme atau kebebasan, relativisme, reduksionisme dan eksklusivisme.
Jadi, ideologi pluralism itu bukan ajaran toleransi. Bahkan pluralisme tidak toleran terhadap klaim-klaim agama-agama. Pluralisme melarang masing-masing agama meyakini agamanya paling benar. Karena itu, ia bukan toleransi tetapi musah dari agama-agama di dunia.
Paham ini sering menyugughkan dirinya sebagai ajaran yang ‘tampak’ ramah dan menghormati keberbedaan (the otherness) dan menjunjung tinggi kebebasan. Tapi pada hakekatnya, dia sebetulnya telah merampas kebebasan pihak lain dan menginjak-injak serta memberangus ke-berbedaan. Ketika paham ini mendeklarasikan diri dan mengklaim sebagai pemberi tafsir atau teori tentang kemajemukan agama-agama yang absolute benar, bahwa semua agama sama. Jadi sesungguhnya ia telah merampas dan melucuti agama-agama dari doktrin orisinil dan absolutnya. Selanjutnya absolutnya dimonopoli sendiri oleh paham pluralisme agama.
Sebagai orang Islam kita tidak boleh meyakini Tuhan agama lain benar. Dalam karyanya Risalah Ahl al-Sunnah wal Jama’ah halaman 13 Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari menyatakan, setiap orang yang mengatakan Tuhan itu memiliki anak, Tuhan berjumlah tiga, dan menolak kenabian Nabi Muhammad SAW itu jelas kafir tanpa diragukan (kufrun laa rayba), meskipun ia mengakui bahwa Allah itu Tuhan. Termasuk dikategorikan kafir orang yang tidak mengkafirkan golongan dengan ciri tersebut. Di sini kita lihat bahwa pendiri NU ini lugas menolak pandangan-pandangan yang mengandung paham pluralisme.
Toleransi yang Benar
Dalam interaksi muslim dengan non-muslim atau kepercayaan yang berbeda, Islam memiliki dua konsep penting; toleransi dan berdakwah. Toleransi (samahah) merupakan ciri khas dari ajaran Islam. Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam. Dakwah dalam Islam bersifat mengajak, bukan memaksa. Dari kaidah inilah maka ketika non-muslim (khususnya kaum dzimmi) berada di tengah-tengah umat Islam atau di negara Islam, maka mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam bahkan dijamin keamanannya karena membayar jizyah sebagai jaminannya.
Toleransi antar umat beragama dalam muamalah duniawi, Islam menganjurkan umatnya untuk bersikap toleran, tolong-menolong, hidup yang harmonis, dan dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka. Dalam hal ini Allah berfirman (yang artinya), Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS. Al-Mumtahanah: 8-9).
Imam al-Syaukani dalam Fath al-Qadir menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik kepada kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari peperangan dan tidak membantu orang kafir lainnya dalam memerangi umat Islam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak melarang bersikap adil dalam bermuamalah dengan mereka. Kafir dzimmi itu dilindungi karena taat pada kepemimpinan Islam dan tidak menyebarkan kesesatan kepada umat Islam. Bahkan umat Islam dilarang mendzalimi ahl al-dzimmi ini.
Berbuat baik dan bersikap bijak dengan ahl al-dzimmi tidak menghalangi Islam untuk berdakwah. Mereka tetap disebut dakwah Islam, tapi bukan bersifat memaksa. Namun tidak ada kompromi terhadap penyimpangan agama, penistaan atau pencampur adukkan agama atas nama toleransi. Jika ada penyimpangan dan penistaan – yang bisa memancing konflik sosial – Islam segera mencegahnya, tidak boleh dibiarkan, seperti yang telah dilakukan oleh Nabi dan Abu Bakar dalam keterangan di atas.
Adapun keikutsertaan seorang Muslim dalam ritual non-Muslim termasuk dalam kategori tolong menolong dalam kebatilan, dosa, dan sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Ini bukan toleransi tapi bentuk sinkritisme. Allah berfirman (yang artinya), Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahui (Q.S Al-Baqarah: 42). Imam al-Thabari menukil penjelasan Imam Mujahid (murid Ibnu Abbas) mengenai maksud ayat Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil adalah mencampuradukkan ajaran Yahudi dan Kristen dengan Islam.
Sekrang yang harus dipahami bersama, baik umat Islam atau umat non-muslim, Islam menjamin kebebasan beragama dan mengakui kemajemukan. Tempat ibadah non-muslim dan kepercayaan aliran lain tidak boleh diganggu. Islam juga terbuka membuka dialog-dialog cerdas. Namun, jika ada aktifitas dan gerakan publik menista kesakralan, aparat harus bertindak tegas. Sebab, masing-masing agama memiliki nilai kesakralan yang jika diusik memantik emosi pengikutnya. Segala bentuk penodaan dan pelecehan nilai-nilai sakral mestinya dilarang, apalagi digelar secara publik. Pengikutnya jelas memiliki hak untuk melakukan pembelaan.
Narasi Perdamaian?
Dalam acara doa bersama itu ada sesi penyampaian pesan perdamaian dari masing-masing perwakilan. Pertanyaannya, sebegitu pentingkah, sebegitu gawatkan hubungan antara Muslim dan Kristen di Pandaan, atau di kota Pasuruan, sehingga perlu ada acara sampai menggadaikan keyakinan itu?
Seruan untuk hidup rukun dan damai antara Muslim dan Kristiani tentu saja itu ajakan baik. Tidak ada yang salah. Kita bersyukur di Pandaan atau Pasuruan kehidupan umat beragama sejauh ini berjalan aman dan damai saja. Kita semua tidak berharap lahir konflik antar agama di kota berjuluk santri ini. Belum ditemukan ancaman-ancaman serius bagi terciptanya konflik agama. Artinya, masyarakan di kota ini memahami toleransi, dan mampu menjaga kondisi aman.
Namun, terdapat ironi. Yakni, justru ancaman untuk berkonflik itu antar sesama penganut agama sendiri. Baik di kalangan Muslim, maupun di dalam Kristen. Artinya, baik Muslim maupun Kristen masih memiliki ‘pekerjaan rumah’ yang perlu diselesaikan terlebih dahulu.
Dalam internal Muslim, masih terdapat potensi-potensi berpecah belah. Masih ada penganut yang enggan shalat subuh berjamaah bergabung dengan jamaah sekampung, gara-gara imam shalatnya membaca qunut. Atau bahkan, seorang tua menolak lamaran lelaki disebabkan si lelaki berbeda ormas Islamnya. Lebih ironi lagi berpecah bisa terjadi antar ormas sesama ahlussunnah wal jama’ahnya. Pernyatuan dengan seruan perdamaian masih diperlukan antara NU dan FPI, atau antara NU dan Muhamadiyah, dan lain-lain. Lebih-lebih dikompori dengan perkembangan situasi politik. Umat Islam, khusussnya ahlussunnah wal jamaah masih perlu upaya ukhuwah terus-menerus.
Dalam hal ini MUI Jawa Timur telah mengadakan program Mudzakarah Da’i. Berkeliling ke ormas-ormas dan lembaga keislaman untuk mengadakan dialog. Tujuannya tercipta kerukunan antara umat Islam.
Begitu pula perbedaan antar aliran gereja di tubuh Kristen juga serius. Banyaknya gereja-gereja yang dibangun misalnya, diindikasi karena perbedaan aliran gereja itu. Yakni, antara aliran gereja satu tidak bersedia kebaktian di dalam aliran gereja yang lain. Sehingga dibangunlah banyak gereja sebanyak keperluan ragam aliran gereja. Dalam tubuh Islam, masih mending. Orang Muhamadiyah mau shalat jumat di masjid NU.
Setiap kelompok keagamaan Kristen memiliki doktrin atau penekanan yang sedikit berbeda dari yang lainnya, seperti misalnya, cara baptisan, Perjamuan Kudus bagi semua orang atau hanya bagi mereka yang kesaksiannya dapat diteguhkan oleh para pemimpin gereja, kedaulatan Allah vs. kehendak bebas dalam soal keselamatan; masa depan Israel dan gereja; peran perbuatan baik dalam keselamatan, pengangkatan orang percaya pra-tribulasi vs pasca-tribulasi; karunia “tanda-tanda ajaib” dalam zaman modern, dan seterusnya.
Maka, dengan demikian hal nya, bagimana mungkin bertoleransi dengan penganut agama lain, jika toleransi dengan sesama penganut agama masih kesulitan?
Kholili Hasib, Bangil 24 Ramadhan 1440 H