HUKUM MAIN BANTENGAN & JARANAN HINGGA KALAP/KERASUKAN BAGI UMAT ISLAM
Luthfi Bashori
Bantengan & jaranan (kuda lumping) adalah salah satu permainan dari budaya masyarakat Jawa yang saat ini diviralkan lagi sebagai tari budaya warisan nenek moyang bangsa Indonesia
Bagaimana jika umat Islam memainkan budaya Bantengan & Kuda lumping ?
Tentu ada beberapa tinjauan dalam hal ini. Setiap budaya di suatu daerah itu adakalanya tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka umat Islam boleh melakukannya seperti budaya Halal bi halal, atau bertamu ke rumah tetangga atau famili di bulan Syawwal.
Namun ada budaya yang bertentangan dengan syariat, seperti ritual memanggil makhluk halus (jin) hingga kalap/kerasukan, karena ilmu ini termasuk dalam permainan ilmu sihir.
Tentang budaya kalap/kerasukan jin yang digolongkan sebagai ilmu sihir ini, telah dibahas dalam kitab al-fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, 5/406.
قال الإمام النووى رحمه الله تعالى : عمل السحر حرام وهو من الكبائر وقد عدها رسول الله صلوات وسلامه عليه من الموبقات السبع، ومن السحر مايكون كفرا ومنه مالا يكون كفرا، بل معصية كبيرة فإن كان فيه قول او فعل يقتضى الكفر فهو كفر وإلا فلا.
“Imam Nawawi rahimahullah ta’ala: Perbuatan sihir adalah haram itu merupakan dari dosa-dosa besar dan Rasulullah SAW telah memasukkannya ke dalam tujuh ketetapan. Ada sihir yang menjadikan kafir ada juga sihir yang hanya masuk ke dalam dosa maksiat yang besar, jika di dalamnya ada ucapan atau perbuatan yang menjerumuskan ke kekafiran maka itu kafir jika tidak maka bukanlah kekafiran.”
Jadi, hukum umat Islam bermain budaya Bantengan & Jaranan, jika sampai kalap/kerasukan hukumnya minimal haram, sebaiknya dihindari.
Jika ada penontonnya yang berkerumun dalam satu tempat hingga terjadi ikhtilath (campuraduk berdempetan) antara lelaki dan wanita, maka hukumnya haram, sebaiknya dihindari juga.
Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan umat Islam:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Di antara yang termasuk bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan perilaku yang tak berguna (tidak bermanfaat) baginya.” (HR. Tirmidizi, Ahmad, Ibnu Majah, Malik, Ibnu Hibban)