Juru bicara Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) Marta Hurtado mengkritik keputusan Prancis yang melarang wanita memakai pakaian abaya (gaun hitam longgar) di sekolah.
Pada Ahad (27/8) lalu, Menteri Pendidikan Prancis Gabriel Attack mengatakan kepada saluran TV lokal TF1 bahwa mengenakan abaya tidak lagi diperbolehkan lagi di sekolah.
Hurtado mengatakan, badan PBB tidak dapat memberikan komentar secara rinci karena mengingat tidak adanya informasi mengenai keputusan Prancis dan rencana penerapannya.
Namun, perlu diingat bahwa menurut standar hak asasi manusia internasional, pembatasan terhadap manifestasi agama atau kepercayaan, termasuk pilihan pakaian, hanya diizinkan dalam keadaan yang sangat terbatas, seperti keselamatan masyarakat, ketertiban umum, kesehatan atau moral.
“Selain itu, berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional, tindakan yang diambil atas nama ketertiban umum harus tepat, perlu, dan proporsional,” kata Hurtado pada Kamis (31/8).
“Hal selanjutnya adalah bahwa mencapai kesetaraan gender memerlukan pemahaman tentang hambatan yang menghalangi perempuan dan anak perempuan untuk membuat pilihan bebas, dan menciptakan lingkungan yang mendukung pengambilan keputusan mereka sendiri, termasuk namun tidak terbatas pada pilihan pakaian,” tambahnya.
Pekan lalu, Kementerian Pendidikan Perancis menerbitkan laporan mengenai dugaan meningkatnya pelanggaran sekularisme di sekolah.
Laporan tersebut menyatakan, pelanggaran sekularisme telah meningkat sebesar 150 persen dalam beberapa tahun terakhir dengan siswa laki-laki dan perempuan mengenakan pakaian yang mirip dengan abaya dan tunik, yang menurut kementerian bertentangan dengan undang-undang sekularisme yang disahkan pada 2004 yang melarang simbol-simbol agama di sekolah.
Prancis menganggap abaya, gaun panjang yang dikenakan oleh sebagian perempuan Muslim, sebagai “simbol agama.” Jilbab – hijab – kopiah Yahudi – kippah – dan salib besar sudah dilarang di sekolah-sekolah Prancis.
Sumber : middleeastmonitor & mediaislam.id