KH. Luthfi Bashori: “Hukum Sound Horeg Adalah Haram”

Viralnya sound horeg terutama di timur pulau jawa menjadi catatan tersendiri untuk masyarakat jawa timur, dalam hal ini ternyata tidak sedikit bahkan sangat banyak masyarakat yang kontra serta tidak setuju dengan kebisingan yang ditimbulkan sound horeg itu sendiri.

Bacaan Lainnya

Sound horeg sendiri terdiri dari dua kata yang memadukan antara bahasa Inggris (Sound) dengan bahasa jawa ngoko (horeg). ‘Sound’ sendiri jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berarti ‘suara’. Sedangkan ‘horeg’ sendiri bisa diartikan sebagai ‘guncangan atau berguncang, maupun bergetar’. Dengan demikian, secara literal Sound Horeg berarti “suara yang menyebabkan getaran”.

Sound horeg merupakan sistem audio dengan tingkat kekerasan yang tinggi. tingkat kekerasan sound horeg hingga bisa mencapai 135 desibel (dB).

Dalam berbagai rekaman video di sosmed misalnya, bunyi musik yang dihasilkan oleh sound horeg yang menggelegar itu sanggup memecahkan kaca jendela, genting bahkan meretakkan tembok di rumah-rumah warga, ( tidak terbayang jika ada bayi yang sedang tidur ).

Belum lagi bercampurnya perempuan dan laki-laki (ikhtilat), joget joget erotis mengikuti dentuman musik menambah kemaksiatan pelakunya karena adanya media sound horeg ini.

Atas kemudharatan yang ditimbulkan lebih besar dibanding manfaat, maka Sound Horeg Di Hukumi Haram Oleh Mayoritas Ulama.

Imam Besar NU Garis Lurus ( KH. Luthfi Bashori ) dalam akun facebooknya ( 02/07 ) turut bersuara terhadap hal ini, Menurut Kyai Luthfi “Sound Horeg dan Mberot itu maksiat, Bukan hiburan Umat Islam Yang Shalih/Shalihah”.

Oleh sebab itu sangat di anjurkan kepada Umat Islam terutama Warga Nahdliyyin untuk tidak terlibat dalam komunitas, penikmat, penonton, maupun penyelenggara Sound Horeg.

Dalam hal ini peran orang tua, guru ngaji dan guru sekolah juga sangat penting, untuk memberi edukasi kepada anak-anak nya yang mulai beranjak remaja, akan kemudharatan sound horeg.

___________________________

Syekh Wahbah Az-Zuhaili :

القَاعِدَةُ الرَّابِعَةُ: الإِسْتِعْمَالُ غَيْرُ الْمُعْتَادِ وَتَرَتَّبَ ضَرَرٌ لِلْغَيْرِ
إِذَا اسْتَعْمَلَ الإِنْسَانُ حَقَّهُ عَلَى نَحْوٍ غَيْرِ مُعْتَادٍ فِي عُرْفِ النَّاسِ، ثُمَّ تَرَتَّبَ عَلَيْهِ ضَرَرٌ لِلْغَيْرِ، كَانَ مُتَعَسِّفًا. كَرَفْعِ صَوْتِ الْمِذْيَاعِ الْمُزْعِجِ لِلْجِيرَانِ، وَالتَّأَنِّي بِهِ، وَاسْتِنْجَارِ دَارٍ، ثُمَّ تَرَكَ الْمَاءَ فِي جِدْرَانِهَا وَقْتًا طَوِيلًا، أَوِ اسْتِنْجَارِ سَيَّارَةٍ ثُمَّ يَحْمِلُهَا أَكْثَرَ مِنْ

Artinya: “Kaidah Keempat, makna dari penggunaan yang tidak lazim dan menimbulakan kerugian bagi orang lain adalah ketika seseorang menggunakan haknya dengan cara yang tidak lazim menurut kebiasaan masyarakat, lalu dari penggunaan itu timbul kerugian bagi orang lain, maka ia dianggap berlaku sewenang-wenang. Contohnya, seperti menyalakan radio dengan suara yang mengganggu tetangga hingga mereka merasa terganggu, atau menyewa rumah lalu membiarkan air merembes di dindingnya dalam waktu lama, atau menyewa mobil lalu memuatnya melebihi kapasitasnya, atau menyewa hewan tunggangan lalu memukulinya dengan keras atau membebaninya melebihi kemampuannya.”


قَالَ مُوسَى بْنُ الزَّيْنِ: وَحَيْثُ ضَيَّقَ اللَّاعِبُونَ بِالْكُرَةِ وَغَيْرِهَا الطَّرِيقَ عَلَى الْمَارَّةِ، أَوْ حَصَلَ عَلَى النَّاسِ أَذًى بِفِعْلِهِمْ أَوْ صِيَاحِهِمْ يَمْنَعُهُمْ سُكُونَهُمْ بِنَوْمٍ وَنَحْوِهِ، أَوْ جُلُوسِ النَّاسِ بِأَفْنِيَتِهِمْ: لَزِمَ أَوْلِيَاءَهُمْ وَسَادَتَهُمْ – بَلْ كُلُّ مَنْ قَدَرَ – زَجْرُهُمْ وَمَنْعُهُمْ، وَمَنْ امْتَنَعَ عُزِّرَ، قَالَ: وَحَيْثُ رُفِعَ مُنْكَرٌ لِوَالٍ فَقَدَرَ عَلَى إِزَالَتِهِ فَلَمْ يُزِلْهُ: أَثِمَ

Artinya: Musa bin az-Zayn berkata, “Apabila para pemain bola atau permainan lainnya menyempitkan jalan bagi para pejalan kaki, atau perbuatan mereka atau teriakan mereka menimbulkan gangguan terhadap orang-orang, seperti menghalangi ketenangan mereka dalam tidur dan semacamnya, atau mengganggu orang yang duduk di halaman rumah mereka, maka wajib bagi para wali (orang tua/pengurus mereka) dan pemimpin mereka (atau bahkan setiap orang yang mampu) untuk mencegah dan melarang mereka. Barangsiapa yang tidak melarang, maka boleh dikenai hukuman ta‘zīr (hukuman edukatif dari penguasa).”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *