Lora Ismael Kepada Imaduddin : “Ternyata Lawan Saya Tidak Setangguh Yang Digembar Gemborkan”

• Masih banyak PR buat Kiai Imad sebelum maju ke diskusi nasab ( jawaban atas tulisan bantahan Kiai Imad )

Pada tulisan sebelumnya, saya sudah meletakkan disclaimer di akhir catatan :

( disclaimer : catatan ini bukan “bantahan lengkap” atas tulisan terbaru Kiai Imad, saya mulai menulis catatan ini dalam penerbangan Pangkalanbun – Jakarta – Surabaya, bantahan lengkapnya akan saya tulis di kesempatan yang lain )

Tapi ternyata Kiai Imad sudah gercep membuat tulisan balasan lain dalam situsnya berikut ini :

https://rminubanten.or.id/lora-ismail-sudah-faham-metode-nasab-yang-membatalkan-baalwi/

Ok, pada catatan kali ini, kita akan mengurangi banyak sekali bumbu, kita akan fokus “mempreteli” cara berfikir dan berhujjah ala Kiai Imad, yang tentunya menjadi PR besar bagi beliau sebelum ( pada akhirnya ) mau terjun untuk berdiksusi dengan siapapun khususnya Rabithah Alawiah yang selama ini ia tantang untuk berdiskusi ( 3 hari 3 malam )

dalam tulisan terbarunya beliau menuliskan :

( Baik, pertama syuhrah, kan. Syuhrah itu memang salah satu cara menetapkan nasab, baik nasab jauh maupun nasab dekat, tetapi ia memiliki sarat utama yaitu “adamul mu’arid” tidak ada dalil yang menentang. Itu ucapan Imam Syafi’I, loh. Kalau ada “mu’arid” maka Al Syhurah wa al Istifadlah batal. Sudah faham belum? Baik. Agar faham, penulis kasih contoh: Si Fulan mengangkat anak dari Rumah Sakit, lalu ketika pulang kampung ia mengaku anak itu anak kandungnya. Maka Syuhrahlah anak itu sebagai “bin si fulan itu”. Jika ada orang kampung itu bersumpah mengitsbat atas nama Allah bahwa anak itu adalah “bin si Fulan,” maka ia tidak dianggap berdosa. Tetapi ketika datang bukti dari Rumah Sakit bahwa si anak itu bukan anak si Fulan, tetapi hanya anak angkat, maka itsbat tadi batal

Ubed sudah Syuhrah hari ini sebagiai anak Ahmad bin Isa, itu betul. Minimal sebelum adanya tesis penulis. Tetapi kemudian datang “mu’arid” yaitu kitab Al Syajarah al Mubarakah dari abad ke-6 Hijriah, yang mengatakan bahwa Ahmad bin Isa hanya punya anak tiga: Muhammad, Ali dan Husain, maka syuhrah hari ini otomatis batal, tidak bisa dipakai lagi. Gitu, Lora )

Saya jawab :

“Syuhroh wal istifadhoh” adalah “point” yang sejak dulu berusaha digempur sekuat tenaga oleh Kiai Imad, sangat wajar sekali karena reputasi dan keviralan Ba’aalwi sejak – ratusan tahun yang lalu – telah diakui oleh ulama-ulama sekaliber Syaikh Murtadha Azzabidi, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Imam Sakhawi, bahkan para ulama pakar nasab yang “dulu” menjadi rujukan utama Kiai Imad seperti Sayyid Mahdi Raja’i, Syaikh Khalil Ibrahim dan Syaikh Ibrahim Mansour Al-Hasyimi.

Kabar baiknya kali ini Kiai Imad telah mengakui bahwa Syuhroh memang bisa mengitsbat suatu nasab, hanya saja beliau tetap ngotot mengatakan Syuhroh atau reputasi Ba’alawi sebagai Dzurriah Nabi tidak sah karena bertentangan dengan Kitab Syajarah Mubarakah. Kelemahan berhujjah Kiai Imad sejak dulu adalah tidak punya kemampuan dalam menjami’kan ( mengkompromikan ) data-data yang ada, beliau dengan mudahkan menganulir sebuah data karena dinilai bertentangan dengan data yang lebih tua. mari kita lihat data-data yang ada di lapangan ( secara garis besar ) :

1. Al-Ubaidili ( 435 H ) menyebut bahwa putra Ahmad Bin Isa adalah 1 : Muhammad

2. Al-Umari ( 475 H ) menyebut bahwa putra Ahmad Bin Isa adalah 1 : Muhammad

3. Al-Fakhrurrazi ( 606 H ) menyebut bahwa putra Ahmad Bin Isa adalah 3 : Muhammad, Ali, Husein

4. Manuskrip Sanad Tirmidzi ( 589 H ) menyebut putra dari Ahmad Bin Isa bernama Abdullah

5. Al-Janadi ( 732 H ) menyebut putra dari Ahmad Bin Isa bernama Abdullah

6. Al-Khatib ( 855 H ) & Al-Sakhawi ( 902 H ) menyebut putra Ahmad Bin Isa bernama Ubaidillah

Siapapun yang pernah menggeluti ilmu nasab dan berfikir objektif pasti akan mengetahui bahwa secara metodologi ilmu nasab semua data-data itu sama sekali tidak bertentangan, kitab-kitab nasab itu skalanya terbatas dan tidak menyeluruh ( Muhith), penulis kitab nasab hanya mengumpulkan dan menyampaikan informasi dan data yang sampai kepadanya saja, jadi alih-alih dikatakan ada kontradiksi ( Ta’arudh ), disitu justru ada penyempurnaan ( Takamul ), informasi-informasi tsb ibarat kepingan puzzle yang saling melengkapi satu sama lain alih-alih saling menganulir dan menafikan, “kontradiksi” yang sama sekali tidak bisa diterima oleh para ulama Nassabah adalah yang berkaitan dengan teori dasar “paten” seperti bedanya sebuah jalur nasab, ketika berdiskusi dengan Syaikh Khalil Ibrahim, beliau mencontohkan masalah ini :

الاصول هي ما تم الاتفاق عليه وتسالم عليه اهل النسب مثلا انتساب ابي بكر الصديق لبني تيم بن مرة اخو كعب بن مرة جد رسول الله صلى الله عليه وسلم  هذا مسلم به ..فاذا وجدنا كتابا في زمان لاحق ينسب ابي بكر لبني تميم لا ناخذ به

“ Ushul adalah sebuah informasi yang telah disepakati oleh para ulama nasab, misal bernasabnya Sayyidina Abu Bakar Asshiddiq kepada Bani Taim Bin Murroh, maka andaikan ada kitab yang menyatakan bahwa beliau bernasab kepada Bani Tamim kita tidak bisa membenarkannya “

Teori dasar ilmu nasab yang selama ini ditabrak oleh Kiai Imad adalah : tidak disebutnya suatu nama dalam sebuah kitab tertentu bukan berarti menafikan, kaidah ini disebutkan dalam kitab Muqaddimat Ilmil Ansab yang sering dijadikan hujjah oleh Kiai Imad selama ini :

ان ما اثبته كتاب الانساب القدامى فهو حجة يمكن العمل به ومالم يثبتوه يعمل فيه بالقرائن ولا موجب للالتزام بنفيهم بعد العلم بمصادر تدوينهم لان عدم الوجدان  لايعني العدم

“ apa yang ditetapkan oleh kitab-kitab nasab kuno adalah hujjah yang bisa kita amalkan, sedangkan yang belum ditetapkan/disebutkan maka kita melihat “Qarain” ( data-data yang lain ) dan tidak adanya penyebutan bukan berarti menafikan, karena tidak ditemukan bukan berarti tidak ada “

Kiai Imad selama ini menolak semua data-data nasab dan sejarah tentang Ba’alawi “hanya” karena 1 hal, semua itu beliau anggap bertentangan dengan informasi dari Kitab Syajarah Mubarokah seakan-akan itu adalah informasi “sakral” yang sudah final dan menutup kemungkinan yang lain  :

“ Imam Fakhrurrazi menyebut anak Ahmad Bin Isa ada 3, nggak ada Ubaidillah disitu, dan itu pake jumlah Ismiah, berarti udah jelas dan pasti gak ada anak yang lain “

dari dulu yang diulang-ulang ya keterangan tentang kaidah “jumlah ismiah” itu aja nggak ada yang lain, bahkan dalam tulisan terbarunya beliau masih mengandalkan kaidah ini :

( Kata Ra ismail, kitab syajarah al Mubarakah tidak membatasi anak Ahmad hanya tiga, maka masih ada kesempatan Ubed masuk sebagai anak Ahmad. He he he, ternyata masih sekelas Ustad Idrus Ramli dan Dek Wafi.

Ilmu nasab itu punyai kaidah, Ra. Salah satu kaidahnya: jika menggunakan jumlah ismiyah maka itu artinya “hasr” (mem-ba-ta-si). Kaidah itu salah satunya disebutkan oleh Syekh Mahdi Roja’I dalam kitabnya: Al Mu’qibun. Itu bukan ucapan Syekh Mahdi Roja’I, loh. Ia hanya mengutip ulama-ulama nasab sebelumnya. Hanya saja ia tidak mengatakan mengutip dari mana. Jadi jangan ditanya kepada Syekh Mahdi Roja’I lagi: apakah ia setuju atau tidak dengan kaidah itu. ia hanya mengutip. itu kaidah ahli nasab yang masyhur. Umur kaidah itu minimal sudah 600 tahun. Kalau pengen tahu, benarkah ada ulama masa lalu yang mengatakan kaidah seperti itu, saya akan tunjukan, Ra. Silahkan buka kitab Umdat al Talib al Kubra karya Ibnu Inabah (w. 828 H.) halam 340. Ibnu Inabah mengatakan:

ومن ذلك اذا قالوا عقبه من فلان او العقب من فلان فانه يدل على ان عقبه منحصر فيه وقولهم اعقب من فلان فان عقبه ليس بمنحصرفيه لجواز ان يكون له عقب من غيره

Kitab Al Syajarah al Mubarakah kan pakai jumlah ismiyah: “ fa ‘aqibuhu min tsalatsati banin” (keturunannya dari tiga anak laki-laki). Ahmad bin Isa punya keturunan hanya dari tiga anak laki-laki: Muhammad, Ali dan Husain. Kalau hari ini ada yang mengaku keturunan Ahmad bin Isa selain dari tiga anak itu maka tertolak, Lora. Okay. Mudah-mudahan Lora sekarang sudah faham. Tidak usah pula Lora mengirim pesan melalui WA kepada Ibnu Inabah dan menanyakan apakah yang dimaksud dalam kitabnya sama seperti pemahaman saya, tidak usah, kenapa? Karena di alam barzakh sepertinya sekarang sedang tidak ada sinyal )

Saya jawab :

sudah saya katakan bahwa kaidah itu tidak bersifat paten dan final, ada banyak sekali contoh yang terkecualikan. tidak sulit meruntuhkan kengeyelan Kiai Imad terkait kaidah ini, di halaman yang sama, di paragraf selanjutnya dalam kitab Syajarah Mubarokah, Imam Fakhrurrazi menuliskan :

أما محمد أبو جعفر،  فعقبه من رجل واحد إسمه علي
وعقب علي هذا من رجل واحد إسمه الحسين

“ adapun Muhammad ( Bin Ahmad Bin Isa ) maka anaknya 1 laki-laki yaitu Ali, sedangkan Ali juga mempunyai anak 1 laki-laki yaitu Husain “

Jika kita terapkan kaidah andalan Kiai Imad, maka Muhammad ini mustahil mempunyai anak selain Ali, karena kata Kiai Imad kalo pake redaksi “Aqibuhu Min ..“ ( Jumlah Ismiah ) maka berarti anaknya ya cuma itu aja nggak ada yang lain. tapi ternyata faktanya tidak seperti itu, kitab nasab yang lebih tua dari Syajarah Mubarokah yaitu Muntaqilat Thalibiah ( Ibnu ThabaThaba/500 H ) justru mengatakan bahwa Muhammad mempunyai anak selain Ali yaitu Muhammad dan Husain :

بالري محمد بن أحمد النفاط بن عيسى بن محمد الأكبر بن علي العريضي عقبه محمد و علي و حسين

“ Di kota Rey ( terdapat ) Muhammad Bin Ahmad Bin Isa Bin Muhammad Bin Ali Al-Uraidhk. ia memiliki anak Muhammad, Ali dan Husain “ ( Muntaqilat Thalibiah halaman 160 )

Al-Umari dalam kitabnya Al-Majdi juga menyatakan bahwa Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Isa juga punya anak bernama Muhammad, padahal kitab Syajarah Mubarokah hanya menyebut satu anak Ali bernama Husein saja :

وأحمد ابو القاسم الابح المعروف بالنفاط لانه كان يتجر النفط له بقية ببغداد من الحسن ابي محمد الدلال على
الدور ببغداد رأيته مات بأخره ببغداد : بن محمد بن علي بن محمد بن أحمد بن عيسى بن محمد بن العريضي

“ Ahmad Al-Abah memiliki keturunan di Baghdad dari jalur Hasan Abu Muhammad Bin Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Isa “ ( Al-Majdi halaman 337 )

Nah loh ? Masih kurang jelas ? itu masih 2 contoh, masih banyak contoh-contoh lain yang belum saya tulis, saya tidak sedang membantah teori dengan teori lo, tapi saya memberi bukti nyata bahwa dalam ilmu nasab teori itu memang tidak berlaku selamanya. Ibarat seorang yang baru ngaji Jurumiah dan baru hafal 1 kaidah yaitu Mubtada’ wajib dibaca Rofa’, tapi ia merasa sudah “selesai” bahkan menyalahkan orang yang mengatakan bahwa Mubtada’ ada juga yang dibaca Jer seperti contoh :

و ما من دابةٍ في الأرض الا على الله رزقها

Padahal orang yang dia salahkan lebih luas ilmu nahwunya dan sudah hafal Alfiah diluar kepala. Kalian tau ? dalam ilmu nasab Kiai Imad sama persis seperti “anak Jurumiah” itu, baru hafal beberapa Kaidah ilmu nasab aja tapi udah “petentang-petenteng” kesana-kemari bahkan menyalahkan dan nantangin semua ulama pakar nasab dunia yang tidak sependapat dengannya.

Ketika mengatakan bahwa “ Lora Ismail sudah paham apa yang membatalkan Nasab Ba’alawi ” secara tidak langsung Kiai Imad mengakui bahwa teori Jumlah Ismiah yang ia terapkan dalam teks kitab Syajaroh Mubarokah itu adalah senjatanya yang paling utama dalam menganulir nasab Ba’alawi, bukan syarat sumber sezaman yang tak pernah disyaratkan oleh para ulama nasab manapun itu, salah seorang Kiai pakar nasab dari kalangan kami Dzurriah Walisongo bahkan mengatakan itu adalah “syarat konyol”, sebagian Kiai – juga dari Dzurriah Walisongo yang saya tanya berkomentar :

“ syarat Kiai Imad ini andai diterapkan untuk mengitsbat nasab, bukan cuma Ba’alawi yang kena, kita semua juga akan kena “

sekarang ketika senjata andalannya itu ternyata sangat mudah untuk dimentahkan, entah amunisi apa lagi yang akan Kiai Imad gunakan untuk bertahan ( saran saya sebelum diskusi siapkanlah kaidah-kaidah yang lain, itupun kalo masih punya ya, kalo cuma kaidah itu mah jangan nunggu 3 hari 3 malam, 3 menit 3 detik udah bisa mental dan gugur )

dan jika di tulisan terbarunya Kiai Imad menyatakan : “ ternyata lora Ismail hanya sekelas Ustadz Idrus dan Dek Wafi “

Maka saya katakan : mungkin terlalu tinggi menyamakan saya dengan orang sekelas beliau-beliau Kiai, tapi jika “pemain baru” sekelas saya saja sudah cukup membuat emosi, panik dan kelabakan, maka itu bukan berarti saya hebat, tapi ternyata lawan saya ternyata tidak setangguh yang selama ini di-iklankan dan digembar-gemborkan.

terkait wacana diskusi itu sendiri, meskipun bukan pendukung Kiai Imad dan juga bukan bagian dari Rabithah Alawiyah, sebagai orang yang mengamati dan terjun langsung dalam diskusi nasab selama ini, saya berharap diskusi itu bisa terjadi, diskusi yang terhormat, ilmiah dan elegan, di tempat yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak, dalam suasana yang aman, terbuka, santai, dan kondusif. jika memang menginginkan sebuah diskusi, kedua pihak seharusnya bisa bersikap adil dan objektif dengan tidak mengajukan syarat yang sulit dipenuhi oleh pihak yang lain, libatkan sosok-sosok yang kredibel dan ilmiah saja, kalo perlu libatkan juga para pakar nasab nasional atau internasional sebagai perumusnya, hingga pada akhirnya tak ada lagi framing siapa yang paling berani dan siapa yang takut untuk berdiskusi. 

dan jika diskusi itu benar terlaksana, saya insyaallah akan bersemangat sekali untuk hadir, bahkan andai ada tiket masuknya sekalipun, selain untuk menyimak dan menimba ilmu, saya juga penasaran seluarbiasa apa diskusi ilmiah dari seorang Kiai yang – dengan gagahnya – mengaku siap berdebat dengan seluruh ulama nasab manapun di seluruh dunia untuk mempertahankan “tesis”-nya yang “fenomenal” itu.

• Ismael Amin Kholil, Jakarta, 26 Agustus, 2024

Pos terkait