MEMBANGUN PESANTREN TANPA ‘CAWE-CAWE’ ORANG TUA
Oleh KH. Luthfi Bashori
Sejak kecil saya lebih senang jika menjadi diri saya sendiri, dan kurang senang bermanja ria kepada orang tua, atau kepada keluarga, apalagi jika harus mengandalkan silsilah nasab keturunan.
Setelah saya belajar di pesantren yang tentunya saat itu harus keluar dari rumah orang tua kurang lebih selama 9 tahun, maka saya merasakan ada kenikmatan yang sangat luar biasa, jika saya berhasil menjadi diri sendiri dan tidak terlalu menggantungkan segala sesuatu itu kepada nama besar dan kemapanan orang tua.
Rumah ayah, cukuplah besar, bertingkat 3, ada 10 kamar, demikian juga dengan pesantren yang didirikan oleh ayah, terhitung pesantren yang besar dan mentereng.
Namun, saya enggan menempatinya. Saya juga tidak mau kalah dengan prestasi ayah, maka saya pun merintis sebuah pesantren sendiri yang sederhana, sesuai kemampuan pribadi, dan merasa enggan jika disumbang dana pembangunan oleh orang tua.
Alhamdulillah saya berhasil membangun pesantren dan rumah kecil berukuran 6 x 10 dengan 5 kamar yang cukup sederhana, saya tempati bersama istri dan anak hingga kini, dari dana sendiri, walaupun rumah orang tua yang cukup mentereng itu sangat memungkinkan untuk saya tempati secara permanen.
Semua bangunan rumah dan pesantren yang saya dirikan, saya rintis sendiri tanpa ada cawe-cawe keluarga secara langsung. Baik dana maupun kurikulum pendidikan, sengaja saya setting yang berbeda dengan pesantren rintisan orang tua, walaupun sejak tahun 1991, saya menjabat Ketua Umum Kepengurusan di pesantren orang tua.
Setelah ayah saya wafat, maka saya merangkap jabatan di samping sebagai pengasuh pesantren Ribath Almurtadla Al-Islami yang saya dirikan sendiri, juga sebagai pengasuh Pesantren Ilmu Al-Quran (PIQ) yang didirikan oleh ayah.
Semoga ke depan saya bisa membangun lagi pesantren-pesantren yang lain, untuk melebarkan sayap pendidikan islami.
Demikian juga dalam banyak hal, termasuk dalam dunia dakwah saya sering kali merintis atau melakukan sebuah langkah yang sengaja berusaha untuk tidak mengekor kepada kebesaran nama orang tua, maupun nama keluarga, hingga Alhamdulillah saya bisa berdakwah keliling manca negara dengan berbekal kemampuan pribadi, tanpa harus menggunakan embel-embel nasab keturunan.
Banyak komunitas yang saya berada di tengah-tengah mereka, dan mereka tidak mengenal kepribadian ayah saya, maupun sislilah nasab saya. Terutama para jama’ah yang berada di luar pulau Jawa serta di luar negeri.
Adapun cara saya menghormati kedua orang tua serta keluarga, adalah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga dan melestarikan warisan amalan baik dan pesantren tinggalan orang tua, khususnya di saat saya berada di dalam lingkungan intern keluarga.
Dalam menceritakan ulasan di atas ini, tujuan saya tiada lain, ingin mengajak agar semua dzurriyah dari para ulama pendiri pesantren yang ada di tengah masyarakat itu, hendaklah mempersiapkan diri sejak dini, agar menjadi jiwa yang mandiri, siap terjun kemana saja saat diperlukan oleh umat Islam, dan tidak harus menggunakan nama besar orang tua maupun nasab keluarga, padahal dirinya sangat rapuh tanpa dasar ilmu agama yang memadai.
Tentunya, sangatlah kasihan nasib umat Islam di masa yang akan datang, dan mereka pun semakin kebingungan saat mencari panutan dan keteladanan untuk menggapai akhirat yang sebaik-baiknya, namun ternyata tokoh yang dijadikan panutan itu tidak mendalami ilmu agama, karena hanya berbekal nasab serta kebesaran nama orang tua atau nama keluarga. ZONK !!!