MENJAUHKAN POLITIK NEGARA DARI AGAMA, ADALAH BENTUK KESESATAN SEKULARISME

Oleh KH. Luthfi Bashori

Mencermati perkembangan akhir-akhir ini, kaum Sepilis (Sekuler, Pluralis dan Liberalis) kerap mendistorsi ajaran Islam, misalnya dengan cara mendangkalkan aqidah umat, seperti memasarkan pemahaman bahwa pada hakikatnya semua agama adalah benar, atau semua agama itu sama dan satu tujuan yaitu menuju satu Tuhan sekalipun dengan nama panggilan berbeda-beda. Ternyata kelompok Sepilis juga giat memasarkan perilaku menyimpang, yaitu upaya “Menjauhkan Negara dari Agama”

Muhammad al-Bahi, seorang pemikir Mesir, sebagaimana dimuat MDF al-Mu`tashim, edisi 10, th 3 April 1999 M, memberikan gambaran tentang sekularisme dengan membaginya menjadi dua, sekularisme radikal dan moderat.

Di sebut Sekularisme Radikal karena menganggap agama sebagai penghalang kemajuan pembangunan yaang harus dimusuhi dan dimusnahkan.

Al-Bahi mengatakan pula bahwa komunisme dapat dikategorikan sebagai kelompok sekularisme radikal. Sedangkan sekularisme moderat menganggap bahwa urusan agama adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan negara.

Karena itulah tokoh-tokoh Sepilis sangat rajin menolak formalisasi syariat Islam ke dalam undang-undang negara.

Karena bernegara adalah cermin kehidupan bermasyarakat, penganut Sepilis berupaya memasarkan pemahaman bahwa agama tidak mampu memberikan kontribusi sedikit pun terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Untuk menguatkan pendapatnya, tidak jarang mereka mengatakan, “Jangan membawa nama agama dalam berpolitik atau agama itu adalah urusan pribadi, bukan urusan pemerintah.”

Mereka juga berargumentasi bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah mendirikan Negara Islam.

Semua yang dikatakan itu pada hakikatnya bertolak belakang dengan sejarah maupun kaidah-kaidah Islam.

Yang jelas, paham ini telah mendiskreditkan Islam dengan satu pemahaman bahwa Islam tidak mampu menjawab tantangan zaman atau tidak relevan diterapkan di segala zaman.

Padahal, Islam sebagai agama universal sangatlah luas cangkupannya. Islam mampu memecahkan problematika umat, baik dalam urusan individu maupun bermasyarakat, dan juga mampu memberikan kontribusi yang berarti terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai ilustrasi bahwa syariat Islam telah mengatur kehidupan pribadi pemeluknya adalah adanya kaidah-kaidah syariat yang mengajarkan bagaimana cara hidup yang baik, sejak bangun tidur di waktu fajar hingga menjelang tidur lagi di waktu malam. Bahkan tata cara tidur yang baik pun telah diatur oleh Islam.

Shalat sunnah Fajar menjelang shalat Shubuh, yang didahului dengan berwudhu, tentunya mempunyai makna yang besar dalam usaha membina seseorang menjadi muslim yang baik.

Mengerjakan sunnah shalat Fajar itu menurut Rasulullah SAW, adalah lebih mulia di hadapan Allah dari pada nilai dunia seisinya.

Bacaan Lainnya


Belum lagi contoh waktu makan pagi yang harus memilih menu yang bersih dari najis dan unsur haram, serta dimulai dengan bacaan Bismillah, adalah tuntunan perilaku yang mengajarkan kedisiplinan.

Demikianlah gambaran kecil dustur (undang-undang syariat) Islam dalam mengatur kehidupan pribadi seorang muslim yang taat, demi kebaikan hidup di dunia maupun di akhirat semata.

Adapun Dustur Islam yang mengatur kehidupan bermasyarakat, telah jelas bagi mereka yang mau mengkaji ajaran syariat Islam secara mendalam.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa Islam telah mengatur tata cara bertetangga yang baik, tata cara menghormati tamu, tata cara jual-beli yang tidak saling merugikan, tata cara bagaimana orang tua menyayangi anak-anak, serta sopan santun kalangan muda terhadap orang yang lebih tua.

Termasuk juga bagaimana tata cara mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dalam syariat Islam sudah ada aturannya.

Sejarah tidak dapat diingkari, bahwa Rasulullah SAW maupun para khalifah yang menggantikan kedudukan Beliau SAW, mereka telah melaksanakan pemberlakuan hukum Islam di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk. Ini dimulai sejak Beliau SAW hijrah dari Makkah ke kota Madinah.

Di saat Rasulullah SAW memegang tampuk kepemimpinan umat, maka segala kebijaksanaan terfokus kepada pribadi Beliau SAW.

Dengan dituntun wahyu Ilahi dan kemampuan dasar yang Beliau SAW miliki, serta mukjizat yang diberikan oleh Allah SWT, Beliau SAW membangun suatu masyarakat (negara) yang modern dan mampu menghapuskan kebatilan.

Misalnya, Beliau SAW angkat pedang dalam memerangi kaum kafir Quraisy yang melakukan penyimpangan tauhid dan memusuhi umat Islam.

Beliau SAW juga membuat peraturan sekaligus sanksi hukum bagi perkara yang berkaitan dengan pelanggaran asusila, contohnya menerapkan sanksi hukum cambuk bagi pemabuk, hukum qishas bagi pembunuh, dan lain sebagainya.

Dalam menerapkan hukum Islam, Beliau SAW terkenal sangat adil tanpa membeda-bedakan, baik terhadap umat Islam maupun non muslim (kafir dzimmi yang menaati dustur atau aturan Islam di negara Madinah) kala itu.

Keadaan semacam inilah yang sering diistilahkan sebagai Masyarakat Madani yang sesungguhnya oleh para ulama.

Tentunya peraturan yang demikian bagus dan rapi itu tidaklah bisa dilaksanakan oleh sembarang orang. Namun yang berhak menjalankannya adalah pihak pemerintah, sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh Islam.

Rasulullah SAW adalah pemimpin tertinggi negara pada saat itu. Untuk itulah segala kebijaksanaan yang bersifat kenegaraan terfokus kepada pribadi Beliau SAW.

Meskipun demikian, Beliau SAW masih mengirim gubernur-gubernur di beberapa daerah yang bertanggungjawab terhadap kemaslahatan daerah binaannya.

Bahkan beberapa kewenangan telah dimandatkan oleh Beliau SAW kepada para gubernur tersebut.

Di antaranya ialah diperkenankanya mengambil keputusan secara ijtihad, jika mereka tidak atau belum menemukan aturan msin dalam Al-Qur`an dan Hadits, sebagaimana yang terjadi pada Shahabat Mu`adz bin Jabal.

Peristiwanya terjadi pada saat Shahabat Mu`adz berangkat menuju kota Yaman untuk melaksanakan tugas kenegaraan, Rasulullah SAW bertanya, “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dikemukakan kepadamu?”

Kuhukumi dengan Kitab Allah,” Jawab Mu`adz.

“Bagaimana jika tidak engkau temui dalam Kitab Allah?” Sambung Beliau SAW.

“Dengan Sunnah Rasulullah SAW”, Ujarnya Mu`adz

“Jika tidak engkau temukan dalam Sunnah Rasulullah lantas bagaimana ?” Tanya Rasulullah SAW lebih lanjut.

“Aku akan menggunakan ijtihad akal pikiranku, dan aku tidak akan meninggalkannya,” Jawab Mu`adz dengan tegas.

Rasulullah SAW lalu menepuk dadanya seraya memuji, “Alhamdulillah , Allah telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.” (HR.Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi)

Dari keterangan di atas, menjadi jelas bahwa Islam telah mengatur tata cara kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan negara.

Dengan bukti ini menjadi semakin jelas, bahwa kaum Sepilis dengan sengaja telah menolak risalah Nabi Muhammad SAW.

Atau paling tidak gerakan ini telah mengingkari sempurnaan Islam sebagai satu-satunya agama yang ajarannya diakui dan diridhai oleh Allah. Bukan ajaran yang lainnya.

Menurut Prof Mahfudz MD, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, “Negara itu organisasi politik tertinggi di setiap masyarakat. Berarti Islam memandang politik itu bagian dari agama,”

“Agama tidak bisa dijalankan dengan baik kalau tidak ada perlindungan negara. Contohnya, zaman penjajahan agama tidak bisa berjalan karena negara anti agama Islam,” ungkap Ketua Presidium KAHMI ini.

“Meski demikian, negara sebagai organisasi politik tersebut tidak harus berbentuk dan bernama Islam. Islam menghajarkan untuk membentuk negara inklusif.” Lanjut sang Profesor.

“Sehingga tidak disebut Darul Islam, tapi Darus Salam, negara perdamaian. Ada toleransi di dalam negara. Itu ajaran Islam,” sebutnya.

NU adalah salah satu ormas Islam yang salah satu tujuan berdirinya adalah untuk ikut menyebarluaskan risalah Nabi Muhammad SAW lewat sendi-sendi kemasyarakatan yang variatif.

NU adalah organisasi Islam yang telah mendeklarasikan diri sebagai wadah bagi perkumpulan kaum Ahlus sunnah wal-jama`ah, beraqidah Asy`ariyah-Maturidiyah.

Maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap warga NU untuk ikut berjuang menerapkan ajaran syariat Islam, baik dalam kehidupan pribadi, di tengah-tengah pergaulan masyarakat maupun dalam menjalani tata cara berbangsa dan bernegara.

Memang sesungguhnya itulah tujuan utama para pendiri NU saat mendeklarasikan organisasi Islam. Dengan diniati secara ikhlas untuk beribadah kepada Allah, serta mengharap keridhaan-Nya.

Sebab tanpa tujuan yang dilandasi keikhlasan beribadah kepada Allah SWT, serta ketulusan untuk menyiarkan agama Islam, apalah arti sebuah aktifitas manusia di mata Sang Rabbull Izzati, Allah SWT.

Karena itu, segala upaya sekularisasi, yang sengaja digulirkan oleh penganut Sepilis, untuk menjauhkan ajaran syariat Islam dari kehidupan pribadi umat, keluarga muslim, lingkungan masyarakat bahkan dalam konteks berbangsa dan bernegara, maka wajib ditolak dan dilawan oleh umat Islam khususnya oleh warga NU, sekalipun misalnya jika para penyebar paham sekularisme itu sedang menjabat di kepengurusan teras NU.

(*Penulis adalah Wakil Rais Syuriah MWC.NU Singosari Malang dan pemerhati ke-NU-an secara makro).

Sumber : pejuangislam

Pos terkait