Tolak Gugatan Agnostik, MK Sebut UUD 1945 Wajibkan WNI Beragama

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi terhadap Pasal 302 ayat (1) KUHP yang diajukan pada perkara nomor 146/PUU-XXII/2024. Pasal tersebut berisi ancaman pidana bagi orang yang menghasut agar seseorang tak beragama atau menganut keyakinan yang diakui di Indonesia.

Pada gugatan tersebut, pemohon menilai jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945 seharusnya juga bisa diartikan setiap warga negara Indonesia boleh tidak menganut agama atau kepercayaan tertentu; atau hak tidak beragama.

Sehingga, pemohon menilai setiap orang boleh menyatakan diri tidak beragama pada seluruh dokumen administrasi kependudukan dan lainnya; tidak mengikuti pendidikan agama semasa sekolah; dan boleh menjalankan perkawinan meski tak punya agama.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi justru menunjukkan UUD 1945 memuat banyak frasa dan prinsip religius keagamaan mulai dari pembukaan alinea ke-3, alinea ke-4, Pasal 9 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28J ayat (2), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), serta Pasal 31 ayat (3).

“Telah jelas bahwa UUD NRI Tahun 1945 adalah konstitusi yang meyakini keberadaan Tuhan Yang Maha Esa atau dapat dikatakan sebagai konstitusi yang religius (godly constitution),” kata Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Foekh, dikutip dari laman MK, Sabtu (04/01/2025).

Dalam hal relasi agama dan negara, kata dia, Indonesia bukan negara agama yang mendasarkan penyelenggaraan negara pada agama tertentu. Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan relasi agama dan negara. Indonesia berada pada poros ketiga yaitu negara yang mempertautkan, mengintegrasikan, dan mensinergikan berbagai agama dengan negara.

Menurut Daniel, Indonesia berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana Pasal 29 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Artinya, nilai dan prinsip semua agama dan keyakinan yang hidup yang memuat nilai kebaikan dan bersifat universal dijadikan dasar dalam penyelenggaraan negara.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, MK meyakini agama dan kepercayaan kepada Tuhan YME merupakan unsur terpenting dalam menjaga dan mempertahankan karakter bangsa sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Namun dalam praktiknya pun warga negara tetap diberi kebebasan untuk beragama atau menganut kepercayaan terhadap Tuhan YME sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

“Beragama dan menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara merdeka, hal mana merupakan pilihan yang jauh lebih tepat dari pada tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” ujar dia.

“Tidak ada ruang kebebasan warga negara untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pembatasan yang proporsional dan bukanlah pembatasan yang bertentangan dengan konstitusi.”

Sebelumnya, dua pemohon yakni Raymond Kamil dan Indra Syahputra mengklaim tidak memeluk agama dan kepercayaan yang diakui di Indonesia. Mereka mengalami kerugian karena dipaksa harus mengisi kolom agama dalam sejumlah dokumen administrasi kependudukan dan lainnya.

Sumber : BloombergTechnoz