1953 Kritik Keras PBNU Terhadap Pidato Soekarno

Tahun 1953.
Angin panas berembus pelan di kota kecil Amuntai, Kalimantan Selatan. Hari itu bukan hari biasa. Lapangan Pahlawan dipadati ribuan warga. Presiden Soekarno datang.

Bacaan Lainnya

Orang-orang berdatangan dari segala penjuru Banua.
Ada yang menenteng anak. Ada yang duduk bersila di atas tikar.
Sebagian besar belum pernah melihat wajah Sang Proklamator secara langsung.

Tak ada yang tahu isi pidato apa yang akan disampaikan.
Tapi harapan menggantung di udara: bahwa pemimpin mereka akan berpihak kepada Islam.

Lalu, dengan suara lantang, Soekarno menyampaikan kalimat yang mengejutkan:

“Jika negara kita menjadi negara Islam, maka Maluku, Bali, Flores, Timor, dan beberapa daerah lain yang non-Muslim akan memisahkan diri dari Republik. Maka negara kita haruslah negara nasional, bukan negara Islam.”

Hening.
Wajah-wajah mulai berubah.
Apa yang semula adalah pesta rakyat, berubah menjadi luka batin.

Islam agama yang dianut oleh mayoritas rakyat negeri ini baru saja disebut sebagai ancaman persatuan.

Gelombang Protes: Dari Banua ke Seluruh Nusantara

Pidato itu menyebar cepat.
Koran-koran menyorot tajam.
Para ulama dari berbagai penjuru negeri mulai bersuara.

Amuntai, kota kecil yang tenang, tiba-tiba menjadi sorotan nasional.
Geger. Riuh. Protes meledak.

Apa yang awalnya disambut dengan tepuk tangan, kini berubah menjadi percik kemarahan yang membesar.

Reaksi Beruntun: Ulama Bangkit, Kutukan Berjatuhan

Pidato itu bukan hanya melukai hati warga Amuntai, tetapi juga menyulut kemarahan para ulama dan tokoh Islam dari seluruh Indonesia.

PBNU Menjawab

Pada 4 Februari 1953, KH. Wahid Hasyim, Ketua Umum PBNU kala itu, mengirim surat resmi kepada Presiden Soekarno:

“Pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak akan dapat memelihara persatuan bangsa, menurut pandangan hukum Islam, adalah perbuatan mungkar yang tidak dibenarkan syariat Islam. Dan wajib bagi tiap-tiap orang Muslim menyatakan ingkar atau tidak setuju.”

Ini bukan sekadar kritik.
Ini adalah fatwa politik, istifta’ ideologis, dan peringatan keras kepada pemimpin tertinggi negeri ini.

Perti Menggugat

5 Februari 1953, Kyai Sirajuddin Abbas dari Partai Islam Perti menyatakan:

“Pidato Presiden kali ini bertendensi adu domba dan menggelisahkan umat Islam.”

GPII Menyentak

12 Februari 1953, surat dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia berbunyi:

“Kini Bapak sudah menanamkan benih-benih separatisme kepada rakyat… Bapak telah menyatakan memihak kepada segolongan rakyat yang tidak setuju dengan ideologi Islam.”

Isa Anshari (Masyumi) Menghantam

Melalui suratnya kepada PM Wilopo dan Wapres Prakoso, M. Isa Anshari menyebut pidato Soekarno:

“Tidak demokratis, tidak konstitusional, dan bertentangan dengan kehendak rakyat Islam.”

Bahkan ia menyebutnya sebagai:

“Wujud penantangan terhadap ideologi Islam yang dianut sebagian besar rakyat Indonesia.”

Aceh: Luka yang Tak Pernah Sembuh

Bagi rakyat Aceh, pidato itu adalah pengkhianatan.
Aceh yang sejak awal memberikan kepercayaan, dana, dan tentara untuk Republik merasa disingkirkan secara ideologis.

Kelak, ucapan Bung Karno ini menjadi alasan emosional dan politik yang mendorong sebagian rakyat Aceh memisahkan diri dari NKRI.

KH. Wahid Hasyim: Benteng Terakhir Islam Konstitusional

Di tengah badai itu, nama KH. Wahid Hasyim mencuat sebagai pembela Islam yang tak gentar.
Putra pendiri NU ini bukan hanya kritikus pidato Bung Karno, tetapi juga arsitek perjuangan Islam di meja konstitusi.

Dalam perdebatan di BPUPKI dan PPKI, beliaulah yang mengusulkan agar Presiden Indonesia wajib beragama Islam.

Alasannya tajam dan sederhana:

Karena mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim. Maka tidak adil jika pemimpinnya tidak mencerminkan nilai-nilai yang dihormati umat.

Namun sejarah mencatat episode menyakitkan:
Dua bulan setelah mengirim surat protes ke Soekarno, KH. Wahid Hasyim wafat dalam kecelakaan mobil di Cimahi.

Terlalu kebetulan untuk disebut kebetulan.
Tapi terlalu tabu untuk disebut rekayasa.
Yang pasti, suara beliau terhenti, namun gaungnya tak pernah padam.

NU: Dulu Pembela Islam, Sekarang Penjaga Status Quo?

Kita harus jujur pada sejarah.
NU di masa awal Republik adalah garda terdepan perjuangan Islam sebagai dasar negara.

Ulama-ulama besar seperti KH. Wahid Hasyim, KH. Idham Chalid, dan KH. As’ad Syamsul Arifin menyatakan komitmen tegas terhadap syariat Islam dalam sistem kenegaraan.

NU bahkan secara resmi:
• Mengutuk penghapusan Piagam Jakarta tahun 1953
• Menuntut syariat Islam ditegakkan dalam sidang Konstituante 1957–1959
• Menolak menjadikan Pancasila sebagai ideologi final, selama tidak dijalankan dalam kerangka Islam

Namun segalanya mulai berubah…

Saat Gus Dur Mengubah Arah

Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memimpin NU, orientasi organisasi ini bergeser drastis secara ideologis:
• Menolak formalisasi syariat Islam
• Mendukung pluralisme ekstrem, bahkan menyamakan semua agama
• Membuka dukungan terhadap pemimpin non-Muslim atas nama demokrasi
• Menghapus perjuangan Negara Islam dan menggantinya dengan istilah negara kebangsaan

Maka Wahai Nahdliyyin…

Sudah terlalu lama kalian dijauhkan dari sejarah kalian sendiri.
Kalian bukan anak asuh demokrasi barat.
Kalian bukan penjaga pluralisme ala sekuler.
Dan kalian bukan benteng paling depan untuk menormalkan pemimpin non-Muslim.

Kalian adalah anak ideologis dari KH. Hasyim Asy’ari.
Kalian adalah pewaris darah perjuangan KH. Wahid Hasyim. Kalian adalah saksi sejarah ketika NU berdiri membela Islam, bukan sekadar agama privat, tapi sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara.

Dulu, kalian berdiri gagah di Konstituante,
menuntut Islam menjadi dasar negara.
Hari ini… sebagian kalian justru berdiri di pelataran gereja, menjaga simbol-simbol yang dulu diperjuangkan untuk tidak dominan.

Kembalilah, wahai Nahdliyyin.

Kembalilah kepada NU yang dahulu
NU yang menolak netralitas semu,
NU yang tak tunduk pada tekanan Barat,
NU yang menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber konstitusi,
dan Rasulullah sebagai satu-satunya teladan politik.

Karena NU yang sejati
bukan alat kekuasaan.
Bukan alat toleransi liberal.
Tapi garda umat.
Benteng Islam.
Pewaris darah ulama pejuang.

Referensi:

Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952–1967 (Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm. 167.

Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 310.

Seri Tempo: Wahid Hasyim, Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan (Jakarta: KPG, 2004), hlm. 94.

————————-

Ngopidiyyahfb

Pos terkait