GENG SOLO

✍️ Balqis Humaira

Bacaan Lainnya

Gue mulai dari satu kalimat yang paling jujur dalam dunia Geng:
kekuasaan itu nggak pernah mati, dia cuma pindah bentuk.
Dan bentuk paling menjijikkan itu ketika dia sudah kehilangan legitimasi, tapi masih punya otot refleks buat mukul balik.
Itu Geng Solo hari ini.
Mereka bukan penguasa.
Mereka juga belum jadi korban.
Mereka itu bangkai besar yang belum dikubur, dan bangkai itu mulai ngundang lalat, belatung, dan orang-orang yang masih bisa makan dari baunya.

Lo bayangin geng lama yang dulu pegang kota. Semua jalan lewat mereka. Semua izin lewat meja mereka. Semua orang pernah nunduk. Terus suatu hari, kota itu diambil alih. Bendera diturunin. Musik diganti. Tapi geng lama itu nggak dibubarin. Mereka cuma disuruh minggir. Duduk. Diam.
Dan di dunia geng, disuruh diam itu penghinaan.

Bosnya nggak teriak. Nggak ngamuk. Dia senyum. Tapi di balik senyum itu, dia lagi ngitung:

siapa yang masih pegang utang budi,
siapa yang masih ketergantungan duit,
siapa yang bakal panik kalau namanya ditarik ke permukaan.

Karena kekuasaan sepuluh tahun itu bukan cuma jabatan. Itu investasi rasa takut. Dan rasa takut itu sekarang lagi dipanen pelan-pelan.
Gue bilang ini dengan jelas: Geng Solo hari ini bukan geng penyerang. Mereka penyebar racun. Racun yang kerjanya lambat. Nggak bikin Lo mati seketika, tapi bikin tubuh negara lemas, gemetar, salah langkah.
Mereka nggak perlu turun ke jalan. Mereka cukup duduk, ngopi, dan nunggu. Karena mereka tau: setiap keputusan pemerintah sekarang selalu melewati sisa-sisa mereka. Kayak tulang patah yang udah disambung salah, tiap gerak dikit pasti nyeri.

Sekarang kita ngomong wilayah.
IKN itu bukan proyek. Itu kuburan setengah jadi. Dan kuburan itu sengaja digali rame-rame di akhir masa kekuasaan. Supaya apa? Supaya yang udah keburu lompat ke dalamnya nggak bisa keluar tanpa bau tanah.
Lo tau kenapa proyek itu nggak dimatiin sekalian?
Karena terlalu banyak mayat ekonomi di dalamnya.

Pengusaha udah keburu tanam duit.
Nama udah keburu dicetak.
Janji udah keburu diucapin.
Dan Geng Solo pinter. Mereka tau satu hal: orang yang sudah tanam terlalu dalam, akan bela proyek itu lebih fanatik dari ideolog. Karena ideologi bisa ditinggal. Neraca rugi nggak.

Jadi sekarang yang terjadi itu bukan pembangunan. Itu upaya mempertahankan denyut jantung mayat. Biar belum dikubur resmi. Biar masih bisa dijadiin sandera.
Setiap kali pemerintah sekarang narik anggaran, Geng Solo ketawa kecil. Karena mereka tau: “oke, kalian pegang keran negara. Tapi kami pegang urat nadi swasta.”
Dan selama urat itu belum diputus, mayat ini masih bisa bergerak.

Sekarang gue masuk ke bagian yang paling bikin tengkuk Lo merinding: keluarga.
Gibran itu bukan penerus. Jangan salah. Dia benteng hidup. Benteng yang sengaja ditaruh di depan. Bukan buat nyerang. Tapi buat bikin siapa pun yang mau mukul, mikir dua kali.
Dia diposisikan pas banget. Tinggi cukup buat jadi simbol. Kosong cukup buat nggak berbahaya. Dan yang paling kejam: dia dibiarkan sendirian. Tanpa taring. Tanpa pasukan. Tanpa kendali.

Di dunia geng, ini namanya meletakkan anak bos di garis tembak, tapi tanpa senjata. Semua orang tau dia di situ. Semua orang tau dia nggak pegang apa-apa. Tapi justru itu yang bikin semua orang ragu buat nembak.
Kaesang? Itu bukan prajurit. Itu petasan. Bunyi doang. Fungsinya ngaganggu, bukan melukai.
Tapi Bobby…
Nah, Bobby itu pisau di bawah meja.
Bobby itu satu-satunya titik di mana darah beneran bisa netes. Karena di situ ada kasus. Ada dokumen. Ada jalur hukum yang bisa ditarik kapan aja. Dan jalur itu sengaja nggak dipakai sekarang.

Kenapa?
Karena di dunia geng, ancaman yang nggak dieksekusi itu lebih efektif daripada hukuman.
Selama Bobby menggantung, Jokowi nggak bisa bergerak bebas.
Selama Bobby menggantung, geng Solo harus patuh sama ritme permainan.
Dan selama itu juga, pemerintah sekarang punya tombol darurat di saku.
Ini bukan penegakan hukum. Ini perang psikologis kelas berat.

Sekarang kita ngomong mesin uang.
Bahlil itu bukan pejabat. Dia penjaga gudang senjata. Di geng mana pun, orang kayak gini itu biasanya paling dilindungi, tapi juga paling gampang dijadikan tumbal.
Karena semua aliran lewat dia.
Izin.
Tambang.
Redistribusi.
Lewat dia, Geng Solo masih bisa ngasih makan anak buah. Dan di dunia geng, anak buah yang masih makan nggak akan berkhianat.
Tapi di titik yang sama, Bahlil itu kayak jeriken bensin di tengah ruangan panas. Berguna. Tapi juga siap meledak kalau ada yang nyalain korek.

Dan klimaks kebrutalan ada di ormas.
Ini bagian yang paling bikin gue muak, tapi juga paling efektif.
Begitu tambang diserahkan ke ormas, Geng Solo nggak lagi berlindung di balik hukum. Mereka berlindung di balik rasa sungkan kolektif. Lo mau kritik? Siap-siap dicap. Lo mau bongkar? Siap-siap dituduh.
Ini bukan diskusi. Ini penyanderaan moral.
Dan efeknya sadis. Ruang publik rusak. Orang jadi bisik. Media mikir dua kali. Akademisi muter bahasa. Semua jadi hati-hati. Negara jadi ringkih.

Sekarang benturan dengan pemerintahan sekarang.
Prabowo ngerti satu hal: geng kayak gini nggak boleh digebuk rame-rame. Kalau Lo gebuk, Lo bikin mereka bersatu. Jadi caranya bukan mukul. Tapi memotong oksigen.
APBN ditarik.
Proyek dipuasakan.
Intelijen dibersihkan.
Pencopotan Budi Gunawan itu bukan urusan personal. Itu operasi amputasi. Menghilangkan mata dan telinga. Membuat geng lama jalan sambil nabrak tembok.
Tapi satu bodyguard masih berdiri: Polri.
Dan selama bodyguard itu belum ditarik, Geng Solo masih bisa nutup pintu kalau ada yang mau masuk terlalu jauh.

Masalahnya, bodyguard juga tau dia sedang diincar. Dan ketika bodyguard mulai sadar posisinya rawan, dia bisa berubah jadi aktor independen. Ini bikin permainan makin liar.
Sekarang Lo ngerti kenapa situasi ini mencekam?

Karena ini bukan perang terbuka. Ini detik-detik sebelum perang. Semua pihak udah siap. Semua senjata udah diminyaki. Tapi belum ada yang mau narik pelatuk pertama.
Geng Solo tau mereka nggak akan kembali berjaya. Tapi geng lama jarang mikir soal menang. Mereka mikir soal warisan luka. Kalau mereka jatuh, mereka mau semua orang ngerasain perihnya.

Dan pemerintah sekarang tau itu. Makanya tiap langkah diambil sambil ngitung:
“kalau gue jalan ke sini, yang mana yang bakal meledak?”

Ini bukan negara yang berjalan. Ini negara yang menjinjing masa lalu sambil pura-pura menatap masa depan.
Dan selama bangkai kekuasaan itu belum dikubur beneran, baunya akan terus nyebar. Pelan. Menyusup. Bikin mual. Bikin sesak. Bikin Lo sadar: ini belum selesai, dan kemungkinan besar nggak akan selesai dengan bersih.

Pos terkait