✍️KH. Luthfi Bashori
ISLAMIS atau ZIONIS ?
Teringat pergulatan kelompok Ulama Islamis VS Nasionalis Sekuler di masa-masa kemerdekaan untuk menentukan masa depan Indonesia.
Kaum Ulama Islamis menginginkan undang-undang dasar di Indonesia itu dapat menerapkan sila pertama Piagam Jakarta, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Sedangkan kaum Nasionalis Sekuler menginginkan Indonesia dikelola sebagai negara sekuler, artinya urusan negara harus terpisah dari aturan agama (Islam).
Pada tanggal 14 Desember, Akun Narto Setia memposting artikel yang cukup serius dalam menanggapi gonjang-ganjing PBNU.
SEMENTARA WAKTU, RAIS AAM & JAJARAN SYURIAH MENGHENDAKI JAM’IYAH NU KEMBALI MENJADI ORGANISASI MURNI ISLAMI.
SEDANGKAN TAMPAKNYA, PIHAK LAIN MENGINGINKAN JAM’IYAH NU DALAM BAYANG-BAYANG ZIONISME ISRAEL.
Berikut kutipannya:
AKN NU dan Alarm Infiltrasi Ideologis dalam Kaderisasi Elit
Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN NU) semula dipromosikan sebagai puncak kaderisasi NU. Namun fakta-fakta kronologis yang penulis dapati dari sumber kredibel, menunjukkan bahwa program ini justru membuka celah berbahaya dalam jantung kaderisasi elit NU-sebuah celah yang, jika dibiarkan, berpotensi dimanfaatkan oleh kekuatan ideologis global yang selama ini aktif bermain melalui jalur soft power.
Masalah AKN NU bukan sekadar soal administrasi yang ceroboh, tetapi menyangkut pola sistemik. Data menunjukkan, dua kali transfer dana masing-masing USD 84.333 dilakukan oleh PBNU ke rekening lembaga di Amerika Serikat pada 2 Januari dan 25 Maret 2025, sementara MoU kerja sama baru ditandatangani 24 April 2025 . Ini bukan kesalahan kecil. Dalam praktik tata kelola modern, transaksi lintas negara tanpa payung hukum yang sah merupakan red flag serius.
Lebih mengkhawatirkan lagi, pengajuan anggaran oleh mitra kerja sama mencapai USD 674.664 (± Rp10,7 miliar) hanya untuk 4 konsultan asing, belum termasuk biaya perjalanan dan honor narasumber . Skema ini menempatkan pihak eksternal pada posisi yang sangat dominan dalam merancang kurikulum kaderisasi elit NU. Pada titik ini, pertanyaan kritis menjadi tak terelakkan: siapa sebenarnya yang sedang mendidik calon elite NU?
Kekhawatiran Pengurus Besar Syuriyah terkait kurikulum dan narasumber tidak lahir dari prasangka kosong. Keberatan itu disampaikan melalui mekanisme resmi organisasi-sowan, rapat, dan surat tertulis-namun diabaikan . Dalam tradisi NU, mengabaikan peringatan Syuriyah berarti mengabaikan benteng ideologis organisasi. Dan sejarah menunjukkan, setiap kali benteng ini dilemahkan, NU selalu berada dalam posisi rawan.
Di sinilah dimensi geopolitik dan ideologis menjadi relevan. Dalam studi hubungan internasional, infiltrasi ideologi jarang dilakukan secara frontal. Ia lebih sering berjalan melalui pendidikan kepemimpinan, riset, kurikulum, dan pendanaan. Banyak laporan akademik global mencatat bagaimana jaringan ideologis pro-Zionisme bekerja melalui institusi pendidikan dan leadership program untuk membentuk elite masa depan yang “akomodatif secara wacana”. Jalur ini efektif karena tidak menimbulkan resistensi langsung.
Kehadiran figur seperti Peter Berkowitz dalam forum AKN NU adalah contoh konkret betapa longgarnya sistem background check. Figur ini secara luas dikenal di ruang publik internasional sebagai pembela agresi Israel atas Palestina. Fakta bahwa ia tampil sebagai narasumber kaderisasi elit NU-dan baru dipersoalkan setelah tekanan publik-menunjukkan kegagalan struktural, bukan sekadar kekhilafan personal.
Lebih serius lagi, AKN NU tetap dipaksakan berjalan meski jumlah pendaftar belum memenuhi kuota minimal 30 peserta, bahkan syarat kaderisasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Perkumpulan NU Nomor 2 Tahun 2025 diabaikan demi mengejar target . Dalam perspektif keamanan organisasi, kaderisasi yang dipaksakan dan elitis justru menjadi titik paling empuk untuk penetrasi pengaruh luar.
Instruksi Rais Aam untuk menghentikan dan mengevaluasi AKN NU adalah langkah konstitusional dan tepat. Namun, keterlambatan respons dan tarik-ulur pelaksanaan instruksi tersebut menimbulkan kesan adanya resistensi internal terhadap supremasi Syuriyah . Jika ini dibiarkan, maka NU bukan hanya menghadapi krisis program, tetapi krisis otoritas dan ketaatan struktural.
Harus ditegaskan secara jujur: kewaspadaan terhadap potensi infiltrasi ideologis Zionisme bukan antisemitisme dan bukan pula sikap anti-dialog global. Ini adalah sikap rasional organisasi keagamaan besar yang sadar bahwa kaderisasi elit adalah medan strategis. Siapa yang menguasai proses ini, akan memengaruhi arah NU dalam jangka panjang-termasuk sikapnya terhadap isu Palestina, keadilan global, dan relasi geopolitik.
NU tidak boleh jatuh pada dua jebakan sekaligus: keterbukaan tanpa pagar dan modernisasi tanpa filter ideologis. Jika program kaderisasi elit dibiarkan dikendalikan oleh jejaring eksternal dengan dana besar, kurikulum tertutup, dan pengawasan internal yang lemah, maka NU sedang mempertaruhkan masa depannya.
Jika rangkaian peristiwa AKN NU dibaca secara lebih jernih, persoalannya tidak berhenti pada kesalahan teknis pelaksanaan atau kelalaian dalam memilih narasumber. Terdapat indikasi bahwa pola pengaruh pihak eksternal terhadap NU-khususnya dalam kaderisasi elit-telah berlangsung dalam jangka waktu yang tidak singkat. Hal ini dapat ditelusuri dari fakta bahwa lembaga mitra PBNU dalam pelaksanaan AKN NU bukan entitas baru, melainkan telah dibentuk dan beroperasi cukup lama sebelum program AKN NU dijalankan.
Yang membuat situasi ini menjadi jauh lebih problematik adalah keterlibatan Ketua Umum PBNU sendiri dalam struktur strategis lembaga mitra tersebut, sebagaimana tercantum dalam dokumen kerja sama resmi. Dalam perspektif tata kelola organisasi, kondisi ini menciptakan konflik kepentingan struktural: figur yang memiliki kewenangan tertinggi dalam pengambilan keputusan PBNU sekaligus berada dalam jejaring institusi eksternal yang berperan dominan dalam perancangan, pembiayaan, dan pelaksanaan kaderisasi elit NU.
AKN NU seharusnya menjadi ruang penguatan ideologi dan kemandirian NU. Ketika ia justru membuka peluang penetrasi nilai yang bertentangan dengan garis perjuangan jam’iyah, maka evaluasi keras bukan hanya perlu-tetapi wajib secara moral dan organisatoris.
Sanksi Kepemimpinan sebagai Konsekuensi Logis.
Jika seluruh rangkaian fakta tersebut dibaca secara utuh-mulai dari cacat prosedural, dominasi pihak eksternal dalam kaderisasi elit, pengabaian peringatan Syuriyah, hingga krisis reputasi akibat kelalaian fatal dalam pemilihan narasumber, maka persoalan AKN NU tidak lagi dapat direduksi sebagai kesalahan teknis atau kekhilafan individual. Ini adalah kegagalan kepemimpinan pada level strategis.
Dalam tata kelola organisasi modern, terlebih organisasi keagamaan sebesar NU, tanggung jawab tertinggi selalu melekat pada pucuk pimpinan. Prinsip ini berlaku universal: ketika sebuah kebijakan strategis menimbulkan kerusakan sistemik, mencederai marwah organisasi, dan mengabaikan mekanisme pengawasan internal, maka konsekuensi kepemimpinan menjadi keniscayaan, bukan opsi emosional.
Dari sudut pandang etika organisasi, sanksi paling logis atas rangkaian kegagalan tersebut adalah pemberhentian Ketua Umum PBNU sebagaimanatelah dilaksanakanoleh PB Syuriyah. Bukan sebagai bentuk penghukuman personal, melainkan sebagai tindakan korektif struktural untuk memulihkan kepercayaan jam’iyah, menegaskan supremasi Syuriyah, dan menutup celah infiltrasi ideologis dalam kaderisasi elit.
Sejarah NU menunjukkan bahwa organisasi ini justru membesar ketika berani mengambil keputusan sulit demi menjaga adab, struktur, dan arah perjuangan. Sebaliknya, membiarkan kegagalan strategis tanpa konsekuensi tegas hanya akan memperpanjang krisis dan membuka ruang spekulasi bahwa NU dapat dikendalikan oleh jejaring kepentingan di luar nilai-nilai dasarnya.
Karena itu, jika NU ingin keluar dari pusaran polemik dengan kepala tegak, maka semua pihak harus mendukung pemakzulan Gus Yahya sebagai penegakan tanggung jawab kepemimpinan. Bukan demi menjatuhkan seseorang, melainkan demi menyelamatkan NU sebagai jam’iyah diniyah ijtima’iyah yang dipercaya umat.
