Tanggapan Seruan PWI LS: “Mengajak Patuh Himbauan JATMAN Tapi Durhaka Pada Induknya”

📜 Tanggapan Seruan PWI LS: “Mengajak Patuh Himbauan JATMAN Tapi Durhaka Pada Induknya”

Bacaan Lainnya

✍️ Tamzilul Furqon

Bacanya kok ana senyum-senyum sendiri…
PWI-LS menghimbau anggotanya patuh pada instruksi Idarah ‘Aliyah JATMAN?
Lha, ini kayak orang yang udah keluar dari rumah, pintu udah dikunci dari dalam, tapi masih ngasih perintah ke orang di dalam rumah.

Mari kita luruskan, biar publik nggak bingung:

  1. Fakta hukumnya jelas:
    PBNU lewat surat instruksi resmi sudah menyatakan PWI-LS bukan lagi bagian dari NU — baik struktural maupun kultural. Ini artinya, segala tindakan organisasi itu tidak lagi mewakili atau membawa nama NU.
  2. JATMAN itu di bawah naungan NU.
    Pemimpinnya jelas: Rais ‘Aam KH. Miftakhul Akhyar dan Ketua Umum PBNU Gus Yahya. Nah, yang lucu, PWI-LS sendiri selama ini tidak menghormati bahkan cenderung merendahkan kedua tokoh ini. Nggak ikut arahan resmi PBNU, malah sering nada-nadanya kontra.
    Tapi sekarang? Tiba-tiba “mengaitkan diri” dengan instruksi JATMAN. Kalau ini bukan teknik nebeng nama, entah apa namanya.
  3. Logika publik gampang membaca:
    Kalau bener-bener menghormati JATMAN, mestinya otomatis menghormati NU dan pemimpinnya, karena JATMAN itu bagian tubuh NU.
    Tapi kalau sama kepala NU saja tidak taat, lalu kenapa tiba-tiba rajin mengutip Idarah ‘Aliyah JATMAN?
    Ini mirip orang yang nggak akur sama ayahnya, tapi ngaku-ngaku sayang sama ibunya — padahal ibunya tinggal di rumah yang sama dengan sang ayah.
  4. Masalah moralnya:
    Saat PBNU dan para tokoh NU memilih tidak ikut-ikutan menghujat para Saadah Ba‘alawi, PWI-LS justru menganggap itu kelemahan.
    Sekarang tiba-tiba memakai simbol NU (lewat JATMAN) untuk memberi instruksi kepada anggotanya. Publik tentu berhak bertanya: ini sikap konsisten, atau cuma pencitraan musiman?

Kesimpulannya?
Kalau mau patuh JATMAN, patuhi juga NU secara utuh, bukan dicomot bagian yang dianggap “menguntungkan” saja. Jangan cuma numpang wibawa, tapi di belakang tetap memusuhi induknya.


Lucu juga membaca himbauan PWI-LS ini. Mereka minta anggotanya taat pada instruksi Idarah ‘Aliyah JATMAN, padahal secara resmi PWI-LS sendiri sudah tidak diakui lagi oleh NU dan bukan bagian dari NU, sesuai surat instruksi PBNU yang sah. JATMAN itu jelas organisasi resmi di bawah naungan NU — lantas mengapa PWI-LS begitu memaksa mengaitkan diri dengan JATMAN?

Lebih aneh lagi, ketika pemimpin tertinggi NU seperti KH Miftachul Akhyar dan Gus Yahya, yang jelas-jelas jadi panutan tertinggi di jam’iyah ini, tidak ditaati bahkan sempat dihina oleh PWI-LS hanya karena mereka tidak ikut-ikutan menghujat para Saadah Ba‘alawi. Kalau begitu, artinya apa? Memilih taat ke JATMAN tapi menentang rais ‘aam dan ketum PBNU — ini logikanya sudah kayak sandal jepit hilang sebelah: jalannya pasti pincang.

Apalagi di Ampel, kita semua tahu, warga sini hafal mana organisasi yang memang resmi di NU dan mana yang hanya “numpang nama” buat cari legitimasi. Kalo orang Ampel sudah ngomong “eh… iku cuma kebener-kebeneren dewe” — ya sudah, tamat riwayat citra resminya.

Pos terkait