PARAH!! UI Undang Akademik Zionis Pendukung Genosida Palestina

Keputusan UI mengundang Peter Berkowitz, akademisi proponen 210n15m3 garis keras, ke acara orientasi mahasiswa barunya patut disayangkan.

Bacaan Lainnya

Peristiwa ini mengingatkan saya pada aksi boikot akademik yang diinisiasi aktivis BDS movement dan pertama kali disambut para akademisi di Inggris.

Kenapa boikot akademik ini penting? Karena menurut mereka, seringkali akademisi 210n15 ini memberi pretext/alasan untuk senatiasa melanggengkan rasisme dan penjajahan atas warga PL.

Sebagai contoh, Anda pernah lihat bagaimana wilayah Tepi Barat itu punya banyak sekali tembok-tembok tinggi yang memisahkan kawasan Arab dan Yahudi kan? Ini namanya “apartheid wall”. Anda tentu bisa menebak betapa berbedanya hidup di satu sisi dengan sisi lainnya. Saking parahnya, ICJ (International Court of Justice) memutuskan tembok ini ilegal pada 2004, tidak lama setelah tembok-tembok ini berdiri.

Siapa penggagas tembok ini? Arnon Soffer, akademisi dari Haifa University.

Contoh lainnya, pada 2005 Haifa University menerbitkan laporan berjudul “The Demographic Problem and Demographic Policy in Israel” tepat 50 tahun setelah tragedi Nakba. Laporan ini mengadvokasi upaya yang diperlukan untuk memberi disinsentif/menghambat orang-orang Arab di sana untuk punya anak supaya mereka tetap jadi mayoritas di sana dan dengan mudah melanggengkan penjajahan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini.

Ketika membaca hal-hal ini di buku “Boycott, Divestment, Sanctions” karya Omar Barghouti, saya jadi ingat cerita soal nabi-nabi yang dibunuh oleh orang Yahudi.

Kita tentu maklum bahwa para nabi ini adalah orang-orang yang jujur, punya reputasi dan nasab yang baik, dan akhlak yang mulia. Bukan orang sembarangan. Tapi bahkan dengan reputasi para nabi tersebut, orang-orang Yahudi “berhasil” membunuh cukup banyak nabi yang diutus pada mereka. Tidak cuma 1 atau 2 saja.

Sekarang coba renungkan, apakah mungkin masyarakat sekitar tidak terusik dengan dibunuhnya seseorang yang soleh, berakhlak mulia, dan mungkin punya posisi sosial yang dihormati masyarakat saat itu? Apa yang menyebabkan orang-orang “maklum” dengan terbunuhnya para nabi tersebut?

Jawabannya: Tentu saja tidak. Perlu ada pretext/alasan untuk menjustifikasi kejahatan yang menjijikkan itu.

Justifikasi inilah yang dipropagandakan oleh Joseph Goebbels selama Holocaust. Mereka mendehumanisasi orang-orang Yahudi, membakar sentimen-sentimen antisemit, sehingga masyarakat setempat merasa maklum akan kekejaman yang dilakukan pemerintah Jerman kepada sekelompok minoritas ini.

Sekarang lihatlah apa yang dilakukan Berkowitz. Dia coba menjustifikasi aksi gnsd IL di Gz (foto terlampir), yang membunuh setidaknya puluhan ribu orang dan 83%-nya tidak terkonfirmasi sebagai militan (setidaknya demikian menurut laporan Haaretz).

Dia bilang bahwa kejahatan perang yang dilakukan IL adalah “military necessity”. Kebutuhan militer. Tidak masalah IL membunuh puluhan ribu warga sipil karena ada kebutuhan militernya.

Sebuah argumen yang sungguh kacau karena kalau argumen ini jadi preseden, Hmz juga bisa menggunakannya dengan cara yang persis sama. Bahkan Hitler juga bisa bilang bahwa Holocaust itu “social necessity” untuk menjawab “Jewish question” ala Nazi.

Dalam podcast yang menghadirkan bang Pizaro baru-baru ini, mas Shofwan Al Banna yang juga dosen UI, bilang bahwa gnsd selalu didahului dengan vernicide (pembunuhan akan kebenaran). Kejahatan kemanusiaan yang sangat tergantung pada dukungan politik dan finansial dari komunitas internasional (wabil khusus dari AS) seperti ini tidak akan pernah terwujud tanpa adanya pretext untuk menjustifikasi kebiadaban yang belum ada tandingannya ini.

Saya kehabisan alasan untuk memaklumi apa yang dilakukan UI. Jika yang dicari adalah akademisi sekaligus praktisi, yang tidak hanya mengajar tapi juga pernah terlibat langsung dalam policymaking; ada buanyak sekali orang yang lebih kapabel dan punya rasa kemanusiaan dibandingkan Berkowitz.

Saya membayangkan kalau narasumbernya berafiliasi pada gerakan Islam politik. Jangankan sampai hari-H, ketika posternya disebarkan pun dalam hitungan jam akan ada suara-suara protes. Post SUMA UI terlampir ini sepertinya bisa jadi studi kasus yang menarik.

Hingga kini, saya belum melihat ada respon apa pun dari civitas akademika UI. Tidak dari rektorat, tidak dari MWA, tidak dari organisasi kemahasiswaan seperti SUMA (btw sepertinya anak-anak SUMA nggak tahu kalau pemerintah IL sekarang adalah pemerintah ekstremis far-right ya?). Hanya ada segelintir mahasiswa yang menyatakan keberatannya di media sosial.

Yang lebih menyesakkan adalah Ketua MWA UI adalah ketua umum ormas Islam terbesar di Indonesia. Salah satu anggota MWA adalah menteri yang juga ketua cabang ormas Islam terbesar kedua di Indonesia. Menteri ini punya kuasa yang besar untuk menegur, atau bahkan mencopot pejabat rektorat yang melanggar komitmen bangsa yang tercermin pembukaan konstitusi Indonesia.

Saya yakin tidak perlu menggurui mereka untuk mengingatkan bahwa Pancasila berada dalam lembar yang sama dengan komitmen Indonesia pada perdamaian dan penghentian penjajahan di atas dunia.

Jadi seberapa Pancasila UI sebenarnya?

✍️ Reza Syam Pratama

Pos terkait